REVIVALISASI ISLAM LIBERAL



Adalah menarik bahkan terkesan unik, menyandingkan 2 term; Revivalisasi Islam dan Islam Liberal. Term pertama sebagai istilah yang sudah ada dalam pergulatan peradaban Islam menggambarkan sebuah upaya menjadikan Islam sebagai pemilik tunggal hak claim of truth and salvation, sedangkan term kedua lebih mengarah pada demokratisasi Islam dan humanisme. Islam Revivalis (trans-nasionalis, fundamentalis, konservatif dan tradisionalis) cenderung bersifat radikal dan “merasa paling benar”. Sedangkan Islam Liberal mengerucut pada kebebasan yang (sebenarnya masih) terbatas pada koridor-koridor interpretasi kemanusiaan. Pada akhirnya, Revivalisasi Islam Liberal dapat diartikan sebagai puncak capaian usaha pemikiran dan ideologi liberalisme Islam terhadap ranah peradaban manusia. Sebuah prestise kemenangan bagi peradaban Islam, Islam yang menjunjung tinggi kontekstualitas manusiawi dalam kerangka liberalisme.
Islam Liberal, meskipun dipandang sebagai produk budaya barat yang justru melecehkan Islam (K.H. Luthfi Bashori, Pimpinan PP. Al-Murtadlo Malang) dan apa yang ditawarkan hanyalah sebongkah kesesatan (K.H. A. Khalil Ridwan), namun paradigma murni yang diangkat dalam liberalisme adalah proses pembebasan dari keterkungkungan dalam dogma dengan tidak meninggalkan kesakralan dan kesucian aqidah dan tauhid kepada Yang Maha Mutlak. Kerap disalah-artikan, sebagai kebebasan interpretatif dan keberanian yang mengarah pada kelancangan. Islam Liberal, sebenarnya justru berupaya “memanusiakan” dan “menghidupkan” Islam sesuai dengan konteks dan komunitas yang lebih luas.
Sebenarnya, liberalismepun bukanlah hal baru dalam Islam. Jadi, Salah Besar (dengan S dan B kapital) jika ada yang mengatakan Islam Liberal adalah produk barat. Liberalisme Islam (dalam hal ini dinyatakan dalam kebebasan penafsiran terhadap dasar hukum syari’at) bermula pada saat pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab. Saat itu, setelah menaklukkan sebuah wilayah dar al-kuffar dalam invasi perluasan wilayah dan penyebaran Islam, pasukan Muslim mendapatkan tanah sitaan (daerah persawahan) di Irak, Persia, dan Mesir cukup banyak. Jika mengikuti ketentuan al-Qur’an surah al-Anfal ayat 41 sebagai adillatu al-syar’i (dasar hukum), seharusnya Umar membagi daerah tersebut 1/5 untuk kemaslahatan umat dan 4/5 untuk pasukan yang ikut dalam peperangan tersebut. Namun, berdasar asumsi bahwa pembagian tersebut justru akan mendatangkan fitnah dan khilaf di kalangan sahabat, maka Umar tidak membagikan ghanimah tersebut. Tanah sitaan tersebut tetap digarap oleh pemilik aslinya (kaum kafir) dengan syarat mereka membayar kharaj (pajak) kepada pemerintahan Islam. Sedangkan status tanah tersebut menjadi milik negara (Islam).
Waktu itu Umar ditentang keras oleh beberapa sahabat lain, di antaranya Bilal ibn Rabah, Zubair ibn Awwam, dan Abdurrahman ibn Auf. Mereka sebagai representasi sahabat yang literalis menganggap Umar terlalu berani menafikan nash al-Qur’an dan juga sunnah Nabi yang membagi ghanimah sesuai rumusan al-Qur’an tersebut pada peperangan di Khaibar. Karena kerasnya tekanan dari Bilal, Umar bahkan berdo’a, “Ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”. Meskipun ditekan sedemikian hebatnya, Umar tetap bertahan sampai akhirnya pendapatnyalah yang diterima masyarakat umum.
Berangkat dari kasus Umar dan Bilal, dapat ditarik dua versi pemahaman Islam; liberal dan literal. Yang menurut Ahmad Sahal, berarti yang literal maupun yang literal sama-sama anak kandung Islam yang sah. Islam literal memandang nash al-Qur’an adalah sebagai dasar hukum yang sah, dan hanya bisa didukung atau dilemahkan dengan nash lain (sunnah Nabi), juga dengan ijtihad ulama’. Namun, pendapat seperti itu justru berujung pada tekstualitas penafsiran beragama. Penafsiran rasional-liberal-sosial-kontekstual tentu tidak searah dengan pemikiran literal.
Implikasi dari pandangan literal mengakibatkan totalitas nash dalam mengatur seluruh wilayah kehidupan; privat dan publik. Nash juga memiliki akses yang tak terhingga dalam segala aspek kemanusiaan, menembus batas ruang-waktu, dan mengatasi berbagai karakter historis. Lebih jauh, latar belakang Arab sebagai konteks di mana Nabi tinggal menjadi latar belakang yang “resmi” dalam dunia Islam. Segala hal di luar Arab dianggap sebagai bukan Islam.
Sedangkan Islam dalam perspektif liberalis lebih luas dalam interpretasi nash sebagai adillah al-syari’ah. Liberalis menggunakan nash dengan mencari maqashid al-syari’ahnya, jadi mereka tidak serta-merta beramal sesuai dengan nash tersebut (letterlijk). Mereka memposisikan wahyu sebagai hal yang progresif dan harus disesuaikan dengan konteks komunitas masyarakat setempat, bahkan menolak tekstualitas al-Qur’an. Namun, paradigma sedemikian bukan ingin menyempitkan penggunaan syari’at hanya di era dan daerah tertentu saja. Penerapan syari’at di Indonesia tentu berbeda dengan Arab Saudi. Aplikasi kontemporer juga tentu berbeda dengan masa-masa terdahulu. Lebih jauh, paradigma demikian justru akan lebih mendekatkan nash dengan masyarakat penggunanya.
Berkaitan dengan maqashid al-syari’ah dan kontekstualitas al-Qur’an, sahabat Umar ibn Khattab sebagai founding father Islam Liberal juga tidak hanya sekali (dalam kasus pembagian ghanimah) meninggalkan makna harfiah nash. Contoh lain terdapat pada saat beliau menghakimi seorang pencuri unta miskin. Jika berdasarkan pada al-Qur’an surah al-Ma’idah 38, pencuri tersebut harus dipotong tangannya. Namun Umar tidak memotong tangannya karena konteks masyarakat pada saat itu sedang dalam masa paceklik yang sangat berat.
Terlepas dari pandangan literalis-liberalis yang secara signifikan berbeda, keduanya adalah sama-sama produk kebudayaan Islam. Memposisikan keduanya harus dalam posisi yang sejajar, karena sejauh ini tidak ada yang tahu siapa benar-siapa salah. Keduanya sama-sama dalam proses road to the peace, truth, and salvation. Jadi, sama sekali tidak bisa dibenarkan jika ada justifikasi bahwa kelompok lain adalah salah, bahkan dipandang sesat dan kafir. Karena barangsiapa mengkafirkan saudaranya sesama muslim, maka dia sendirilah yang sebenarnya kafir (al-hadits). Ghafarallah anhum. God Knows.

2 komentar:

Anonymous said...

ya..ya..tapi yang menarik memang harus ada perumusan jelas konsep Islam di Indonesia,revivalisme dalam Islam Indonesia idealnya tetap pada konteks keindonesiaanya. maka kembali kepada konsep tradisional adalah pertemuan arif Islam di indonesia.
so, mendewakan yang diluar tubuh sebagai identitas kayaknya juga narsis. karena yang terjadi adalah pemaksaan kultur. karena bagaimanapun juga konsep agama dan kebudayaan dalam pemikiran akan membentuk konsep sosial masyarakat tertentu.
maka menelusuri jejak tradisi dan mendulang kembali pemikiran klasik adalah 'aufklarung' kedua di indonesia.dan akn menemukan epistemologi liberal yang sesungguhnya di dalam Islam Indonesia.

denologis said...

jika yg dimaksudkan dengan "yang luar" adalah liberalisme (itself), saya sangat tidak setuju. karena hakikatnya, liberalisme adalah paradigma manusia, entah dia muslim, christ, jew, dlsb. berkaitan dg islam keindonesiaan, saya sepakat, karena seharusnya islam bukan memaksa pemeluknya menjadi arabian, tapi memberi identitas bagi pemeluknya.