teobarbarian

"Bullshit!" gumamku melihat berita di teve. Sebuah tayangan sweeping diskotik oleh kelompok Islam kanan garis keras, BLT, Brigade Laskar Tuhan. Konon, kelompok ini merupakan reinkarnasi dari API, Aksi Pembela Islam, yang kolaps paska Insiden Monas 3 tahun lalu. Setelah kejadian -yang menurutku sangat konyol- itu, API dikecam habis-habisan hingga Pemerintah “terpaksa” membubarkan organisasi massa tersebut, di samping juga mengeluarkan pelarangan untuk Ahmadiyah, salah satu sekte dalam ajaran Islam yang dianggap sesat dan menyimpang. Ah entahlah, apapun itu aku tak tahu benar. Yang pasti, paska-pembubaran API, beberapa tokoh kunci API kembali menyusun kekuatan dan membentuk BLT. Mereka semakin "aman" karena pada Pilpres tahun 2009, nyaris enam puluh persen rakyat Indonesia memilih calon presiden yang diusung Partai orang-orang "kaku" dan "merasa paling benar" tersebut. Meskipun aku belum banyak tahu kiprah keislaman presiden baruku ini, aku tahu bahwa dia orang penting di parlemen pemerintahan sebelumnya. Ah, akupun juga tak mau membicarakannya. Yang aku tahu pasti hanyalah Islam adalah agama kekerasan, agama yang dibangun dengan pedang dan perang.

Hari ini hari Minggu, tapi aku sudah sejak lama tidak pergi ke gereja, justru setelah aku kuliah di Spartacus, STT (Sekolah Tinggi Teologi) favorit di Jogja. Tak terasa sudah hampir setahun aku menikmati "murtad"ku ini. Padahal di kampusku tak semua orang "murtad", bahkan ada teman sekelasku yang cenderung fanatik, persis seperti API atau BLT yang kugambarkan tadi. Yah, memang dulu dia pernah jadi tukang kebun di gereja. Jadi menurutku, wajarlah kalau nalurinya naluri pengabdi. Daripada hanya tidur-tiduran di kontrakan, kupikir lebih baik pergi ke warnet. Sesampainya di MoyNet, warnet langgananku di belakang Ambarrukmo Plasa, seperti biasa aku langsung mengambil Paket 3 Jam. Prinsipku, ngenet kalo cuman paket personal alias jam-jaman malah rugi, toh ngenetku pasti minimal 4 Jam. Setelah masuk ke yahoo.co.uk, aku langsung mengetik username denologis dan password *********** untuk login. Ternyata sudah ada 14 e-mail baru. Biasa saja sih, paling-paling juga ada info new comment dari blogger.com dan friendster.com, atau yang agak serius biasanya aku mendapat kiriman newsletter dari faithfreedom.org, islamlib.com, dan situs-situs keagamaan (atau keantiagamaan) lain.

Selanjutnya aku buka aplikasi Yahoo! Messenger dan login seperti tadi. Aku biasanya masuk ke room religion, entah Christ, Islam, Jewish, apapun. Bukan apa-apa, di chat room aku justru suka membuat masalah. Misalnya, di room Christ aku tulis I AM SON O’MARIA besar-besar dengan warna mencolok. Atau I DON’T BELIEVE di room Islam. Atau WHAT DO YOU DO WITH YER HANDS di room Buddhist. Hahahaha….
Oops, belum sempat kujalankan "niat jahat"ku menebar teror di room religion, ada instant message masuk dari nickname annalee99, dammit! she is my old friend!!! Long time no see dan akhirnya berjumpa kembali di chat room. Dia adalah temanku ketika ikut program IALF (Indonesian-Australian Language Foundation), sebuah program pemantapan bahasa Inggris untuk persiapan kuliah di luar negeri. Tapi aku tidak ikut program itu, saat itu aku di Bali karena kabur dari rumah (hehehehe), setelah berdebat dengan orangtuaku yang pendeta Katolik dan berfikiran kuno. Kami bertemu dan kenalan sewaktu menonton upacara Ngaben, salah satu upacara adat masyarakat Hindu. And I think she is nice Moslem. Aku tidak menekankan pada Moslemnya, tapi pada nicenya. ^-^


annalee99: hi buddy
denologis: how are you????
annalee99: I'm fine. 5 years since our last meeting in Bali, n 2 years on-air
denologis: Yupz
annalee99: apa yang kau kerjakan sekarang? Masih bingung di jalanan?
denologis: ya iya lah. Lha engkau sekarang masih di Kanada kah? Atau di Bali lagi?
annalee99: Aku di Jogja sekarang, gawe ma temen2
denologis: What!!!! Jogja???? I'm here now. Where are you? Serius, aku tak tahu kau ada di Jogja. Aku sekarang studi di Spartacus.
annalee99: Beneran kamu? Aku di Kotagede. Kalo lagi nganggur, maen ke sini juga boleh
denologis: Dekat dong. Aku ngontrak di Kadipolo. Eh, ngomong2, kau masih muslim kan? [pertanyaan aneh ^-^]
annalee99: memang aneh banget, ya masih lah. Emang kenapa? Kamu juga masih Christ kan? Kuliah di Spartacus je….
denologis: Gak tau ya. Maksudku, aku masih pikir2 lagi tentang agama. Menurut kamu gimana?
annalee99: Wah, aku no comment deh. Tau sendiri kan kalo kuliahku di social studies ini…
denologis: Lha hiya itu, kalo secara sosial, kamu ada solusi untukku gak?
annalee99: Kalo menurutku, ya sukasukakamu dong. Agama kan hak privasi, gak boleh ada pemaksaan, apalagi dengan kekerasan
denologis: Kamu muslim kan?
annalee99: Look at what I just said. I'm absolutely Moslem.
denologis: Ehm, please jangan tersinggung ya. Coz tak kira, kamu gak akan munafik. Kalo menurutku, agama Islam tu agama perang deh. Aku liat di media, wah parah, all about Islam is just about CRIME. Once 'gain, I'm so sorry kalo kamu tersinggung.
annalee99: Gimana yah….Tersinggung sih tidak. Coz menurutku, yang kamu liat di media itu salah satu wajah Islam yang terlalu fundamental. And parahnya hal itu justru diblow-up media besar2an
denologis: Bisa jadi sih. Trus kalo menurut kamu, Islam itu idealnya gimana?
annalee99: menurutku, (and this is reason why I believe Islam) Islam itu agama yang ramah. Jadi, pada hakikatnya kekerasan dalam Islam itu tidak ada, bahkan dilarang
denologis: Lha trus API? BLT? Apa mereka tidak melakukan kekerasan atas nama Islam????
annalee99: Seperti aku bilang tadi, mereka adalah salah satu wajah (yang menurutku buruk) dalam Islam. Tapi aku juga gak bisa bilang mereka bukan Islam lo…. I think paradigma seperti mereka juga ada dalam kristiani kok. I mean fundamentalnya itu lho. Katolik gitu kah?
denologis: Iya juga sih. Makanya aku bingung dengan agama-agama-agama
annalee99: meskipun tadi aku udah bilang agama hak privat, tapi aku boleh kasih saran kan?
denologis: B O L E H
annalee99: 1. kamu kaji kembali keyakinan agama kamu, ambil doktrin yang sesuai dengan kamu, 2. pelajari dan telaah relevansi dan kegunaan doktrin-doktrin tadi, 3. pertimbangkan dengan hati nurani kemanusiaan kamu, 4. pertimbangkan dengan logika rasional kamu
denologis: kok bingung ya.
annalee99: ya emang musti gitu. Ntar kalo udah ketemu jalannya kan bisa survive
denologis: tak coba deh. Wah, makasih banget yah traininge
annalee99: welkam. Eh, besok ngobrol lagi ya, sorry, aku musti cabut dulu neh. C u.
denologis: key. Best regard, denologis.

Tak terasa sudah 4 jam berlalu. Selain diskusi dengan annalee99, aku juga membalas komentar-komentar di blogku. Nyaris tiap hari, ada saja komentar pedas yang masuk, pasalnya, bahkan menurutku sendiri, tulisanku terlalu vulgar, seperti Moammar Emka yang menggambarkan Pajero Goyang dalam Jakarta Undercover. ^-^ Entahlah, aku memang selalu meracau dan mengacau jika bicara tentang agama dan Tuhan. Mungkin, chatting singkat dengan annalee99 tadi bisa kujadikan bahan renungan untuk kembali mengenal Yesus, Maria, Saint Paul, dan entah siapa lagi tokoh-tokoh agamaku. Aku tidak banyak mengenal mereka. Yah, mungkin. [imagined by denologis - pemurung biasa saja yang heran dengan orang teriak allahu akbar, pake peci tapi kelakuannya barbar]

dimuat di sapulidi [BARU} lidisiempat

Read More......

Maulana Farid Esack; sang pembebas, yang tertindas


Ia adalah salah satu tokoh Islam Kontemporer yang tidak bosan-bosan menyerukan renaissance dalam paradigma pemikiran Islam. Dengan titik pemikiran terfokus pada Hermeneutika Qur’an, Esack menawarkan Teologi Pembebasan bagi ketidakadilan. Dengan keberanian yang dimilikinya, ia sangat meyakini bahwa Kitab Suci Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang memberikan pemihakan kepada kelompok lemah atau mustadh’afin. Maka segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an harus berpihak kepada kaum mustadh’afin, setidaknya menolak ketidakadilan. Komitmen membangun sebuah masyarakat egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, dan tanpa rasialisme primordial harus menjadi barometer baku dalam setiap penafsiran teks-teks suci.

Esack adalah model intelektual organik —untuk memakai kategori Antonio Gramsci— yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya. Ia termasuk dalam avant garde pemberangusan rezim apartheid di Afrika Selatan. Bersama kawan-kawan se-perjuangannya, mereka melawan otoritarianisme pemerintah kolonial dalam mengatur negara. Namun bersama kawan-kawan muslim se-idenya, ia tak hanya melawan rezim penguasa, namun juga terpaksa melawan umat Muslim lain yang berideologi literal dan konservatif. Gagasannya tentang Teologi Pembebasan yang sama sekali baru dalam dunia Islam, khususnya di Afrika Selatan, ditentang oleh ulama-ulama sepuh di negara tersebut. Menurut mereka, ide tersebut sama saja dengan menafikan Islam sebagai Dien al-Haqq, pemegang kebenaran eksklusif.

Status Quo yang Kompleks

Farid Esack lahir pada tahun 1959 dalam asuhan seorang ibu yang menjalani hidup sebagai single parent. Ayahnya hilang ketika ia masih berumur dua minggu. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang berjumlah enam orang.

Adalah Apartheid, sebuah sistem dikotomi dan klasifikasi berdasarkan etnis yang kemudian mengantarkan Afrika Selatan menuju peradaban yang sangat tidak manusiawi. Pemerintah kolonial menetapkan berbagai peraturan yang menyengsarakan pribumi. Penerapan Group Areas Act (Akta Wilayah Kelompok) pada 1952 yang tidak adil menempatkan warga kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna di daerah-daerah paling tandus di negeri itu. Sebagaimana keluarga Esack yang harus pindah dari Wynberg, Western Cape, ke Bonteheuwal, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats. Baik di Wynberg maupun di Bonteheuwal, mereka tinggal bertetangga dengan umat Kristen sebagai mayoritas di Afsel. Selain orang Islam sebagai minoritas, di daerah mereka juga tinggal beberapa orang Yahudi dan Baha’i. Namun, perbedaan ideologis itu tidaklah mendasar dan menyebabkan kebedaan antara mereka. Merasa senasib dengan penindasan kolonial, mereka hidup bersama dalam pergumulan sosial yang baik dan akrab.

Mengenang solidaritas tetangga-tetangganya yang beragama lain, Farid mengatakan, “kepada tetangga Kristen itulah kami bergantung demi semangkuk gula untuk menyambung nafas untuk hari-hari berikutnya. Dan mereka tempat berbagi derita. Kepada tuan Frank kami memohon perpanjangan waktu kredit yang seolah-oleh tiada akhirnya. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkan berkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristen membuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaim keselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhami saya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik dari agama lain. Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan masuk neraka?.” Dari kenangan tersebut terpantul benih-benih pluralisme dalam diri Esack sejak dini. Solidaritas dan penerimaan terhadap orang lain tanpa dihantui oleh perbedaan agama, ras dan kelamin merupakan inti dari pluralisme yang tertanam kuat pada diri Esack sampai saat ini.

Kebijakan lain adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi buatan Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.

Parahnya, gambaran kehidupan menyedihkan seperti itu justru berjalan lancar dengan peran serta kaum akomodasionis – sebagaimana Esack menyebut Muslim ataupun Kristiani fundamental. Meskipun pada dasarnya mereka menolak penindasan kolonial, namun mereka tidak lantas melakukan aksi frontal melawan rezim penjajah. Justru semakin melanggengkan sistem apartheid dengan menikmati status quo; dikotomi kesukuan dan keagamaan yang sayangnya mereka sadari sebagai eksklusivisme.

Karena dukungan secara tidak langsung mereka pada kolonial, kaum akomodasionis banyak yang kemudian mendapat posisi di birokrasi, terutama dalam hal pendidikan. Akibatnya sangat fatal, pelajar-pelajar dari berbagai etnis dicekoki doktrin kewajiban untuk patuh pada pemerintah sebagai representasi Tuhan. Sistem pendidikan yang bertujuan membungkam rakyat untuk tidak melawan pemerintah. Saat itu, lembaga-lembaga pendidikan sangat terbatas, karena izin pendirian lembaga diberikan hanya untuk lembaga pendidikan Kristen. Jadi, semasa kecilnya Esack bersekolah di sekolah Kristen dan diberikan pengetahuan dogmatik untuk membenarkan (memberikan pembenaran atas) status quo yang kompleks tersebut.

Pertarungan yang Sebenarnya

Sejak kecil, Esack sudah menjadi anggota Jama’ah Tabligh, hingga akhirnya ia diberangkatkan ke Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah dalam bidang hukum Islam. Ada sebuah kisah ketika Derrick Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel, Haji Bhai Padia. Hal tersebut menciptakan kebimbangan teologis Esack dengan konservatisme Jamaah Tabligh. Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar Maulana.

Namun, semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkannya betapa buruknya menjadi minoritas; sering dilecehkan dan ditindas. Ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindu dan Kristen minoritas di Pakistan yang sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, perang batin antara teologi eksklusiv konservatif yang masih melekat dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin memuncak. Esack lantas menetapkan pilihan meninggalkan Jamaah Tabligh, dan kemudian kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang menjadi mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kristen. Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi dalam bidang Ulum al-Quran. Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar Teologi dan Ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada United Democratic Front (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.

Sebab afiliasi tersebut, gerakan The Call of Islam ditentang oleh kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, dan MSA. Dengan penafsiran literal yang letter lijk terhadap al-Quran, mereka tak henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a search for an outside model of Islam.”

Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Hal inilah yang mendorong Esack untuk lebih dalam mempelajari al-Quran. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Adapun di Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun.

Manifesto Esack

Sebagai Doktor dalam bidang Ulum al-Qur’an, Esack memiliki konsep tentang pewahyuan yang progresif, di mana Tuhan turut aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Hal yang menunjukkan progresifitas tersebut adalah sistem prophethood (kenabian) dan tadrij (berangsur-angsur), serta asbab al-nuzul dan naskh. Menurutnya, sebagaimana digagas oleh Syah Wali Allah Dehlawi (w. 1762), ia menekankan kesalingterkaitan antara kosmos, keilahian, bumi, serta peran dan kekuasaan manusia dan semesta. Jadi, nyaris serupa dengan konsep Nasr Abu Zaid bahwa al-Quran merupakan muntaj al-tsaqafy (produk budaya), maka Esack memandang bahwa umat manusia pada masa itu ikut berperan serta dalam pewahyuan.

Selain itu, Esack juga mengkonsep hermeneutika dipandang dengan dua pendekatan. Arus pertama memandang hermeneutika sebagai prinsip-prinsip metodologis utama yang mendasari usaha interpretasi, sedangkan arus kedua melihatnya sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman. Esack berupaya mengaplikasikan hermenutika yang tepat sebagaimana ditemukan kaum Islam progresif Afsel pada 1980, usaha mengaitkan teks dengan konteks masa kini selalu menuntut penerapan hermenutika. Untuk menuju ke sana, ia juga merumuskan kunci-kunci dalam memahami hermenutika al-Qur’an sebagai perangkat untuk memahami al-Quran, terutama bagi masyarakat yang diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan, khususnya masyarakat Afsel.

Dua kunci pertama, takwa dan tauhid sebagai “penguji” moral dan doktrinal bagi kunci-kunci selanjutnya, khususnya ditinjau dari pembacaan penafsir. Keduanya juga menjadi lensa teologis bagi pembacaan al-Quran. Namun, meski kedua kunci ini bersifat teologis, keduanya selalu diterapkan pada konteks historis-politik tertentu, sebagaimana konteks Esack di Afsel. Dua kunci selanjutnya, al-nas (manusia) dan al-mustadh’afuna fi al-ardl (kaum tertindas) sebagai wilayah interpretatif sang penafsir. Kunci terakhir adalah ‘adl wa qisth (keadilan) dan jihad (perjuangan) sebagai tuntutan reflektif terhadap metode dan etika yang menghasilkan paradigma kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat tertindas.

Ebrahim Rosool pernah mengungkapkan bahwa takwa adalah prasyarat dasar untuk memahami dan mempelajari al-Quran, sebagai tindakan pelindung agar tidak mempergunakan al-Quran semena-mena dan pencomotan teks seenaknya untuk menegesahkan ideologi yang asing bagi pandangan dunia Islam. Selain itu, takwa juga memberikan pengaruh pada keseimbangan estetik dan spiritual penafsir dalam proses hermeneutika al-Quran. Tauhid juga merupakan kunci dasar hermeneutika, karena pembacaan al-Quran tanpa dilandasi tauhid bukanlah pembacaan ideal dalam Islam.

Konsep hermeneutika yang menuntut hadirnya manusia sangat signifikan, mengingat kepentingan dan pengalaman merekalah yang pada akhirnya membentuk hermeneutika al-Quran. Begitu juga dengan obyektifitas ataupun subyektifitas kaum tertindas, di mana penafsir dituntut untuk memposisikan diri di antara al-mustadh’afuna fi al-ardl sebagai saksi Tuhan. Tujuan usaha ini adalah suatu perjuangan yang sebagian besar partisipannya adalah kaum tertindas.

Terkait dengan perjuangan anti-apartheidnya yang bersentuhan dengan banyak orang beragama di luar Islam, Esack juga merekonstruksi definisi kafir sebagaimana diyakini kaum fundamentalis bahwa kafir adalah semua orang di luar agama Islam. Sedangkan, Esack memberikan konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi keadilan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak ayat al-Qur’an yang berisi:

a. Kafir, dalam arti menghalangi orang dari jalan Allah; adalah upaya untuk memusuhi para nabi dalam menegakkan keadilan. Kafir merupakan lawan dari sebuah karakter dari para nabi; menegakkan keadilan. Dengan kata lain Kafir berarti sebagai sebuah sistem yang menghalangi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan sebagainya (QS. Ali Imran 21-22; Al-Nisa’/4: 167; Muhammad/47: 32; al-A`raf/7: 45).

b. Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan). Seperti Fir’aun, menindas orang Islam bahkan dirinya mengaku sebagai Tuhan. Dalam konteks kekinian - sebagaimana konsep Ali Syari’ati, yang perlu diwaspadai adalah thaghutisme atau Fir’aunian. Suatu sistem tirani yang akut adalah kekafiran yang sesungguhnya. Sebab orang yang beriman (mu`min) adalah orang yang mengkafirkan thaghut (QS. al-Baqarah/2:256)

c. Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim dan orang miskin (QS. Al-Ma`un/107:1-3; al-Humazah/104: 1-4).

d. Sikap diam (apatis), tidak bertindak apa-apa terhadap segala bentuk penindasan dan eksploitasi juga dapat digolongkan dalam makna kafir.

Menurut Esack, ide awal tentang kekafiran seolah-olah dicampuradukkan dengan ketuhanan. Padahal pada hakikatnya orang kafir juga mengakui adanya Tuhan. Jadi sebenarnya, kafir adalah penindasan sebagai lawan atau kontradiksi dari keimanan yang diejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian, kebersamaan, dan kesejahteraan.

Bila dibaca dalam al-Qur’an, makna Islam sangat luas, bukan sekedar makna agama (al-din). Islam adalah penyerahan diri manusia pada Tuhan secara total, dan ini merupakan tradisi pada Nabi. Sebagaimana sering dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Ibn Taimiyyah, bahwa Islam yang demikian adalah Islam yang bermakna universal. Menurut Taimiyyah, bahwa Islam mempunyai dua makna; Islam dalam makna umum, berarti segala bentuk ketundukan kepada Tuhan, dalam semua agama. Sedangkan Islam dalam makna khusus/terbatas, adalah Islam sebagai agama, berisi ajaran-ajaran syari’at yang disampaikan Nabi Muhammad pada umat manusia.

Esack; Pembebas Itu….

Farid Esack telah mencetak gebrakan besar dalam pertarungan wacana antara liberal dan literal-akomodasionis. Hingga akhirnya, praksis perjuangan frontal yang terkonsep dalam kesetaraan dan keragaman menjadi solusi tepat menuju pembebasan masyarakat tertindas. | Dawam MR – 210407007 |

dimuat di majalah al-millah edisi 20 th. 2008. download selengkapnya DI SINI

Read More......

Islam Tidak Perlu Dibela

Menyadur adagium K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Peringatan 1 Tahun The Wahid Institute 3 tahun lalu, bahwa Tuhan Tidak Perlu Dibela. Wacana yang sangat kontroversial dan menantang di tengah maraknya pembelaan (baca : kekerasan) atas nama Tuhan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ultrapuritan dalam Islam. Adagium Gus Dur tersebut bertujuan untuk merekonstruksi paradigma umat Islam khususnya dan seluruh manusia umumnya, bahwa yang sebenarnya harus dibela dan diperjuangkan adalah kemanusiaan, bukan Tuhan.

Yenny Wahid mengatakan, adagium "Tuhan tidak perlu dibela" mereflesikan semangat The Wahid Institute membangun ruh keberagamaan yang memanusiakan manusia. Agama adalah inspirasi untuk membangunan tatanan masyarakat yang beradab. Agama yang meminggirkan manusia adalah agama yang mengingkari dirinya sendiri.

Seide dengan Gus Dur, penulis berpendapat bahwa Islam juga tidak perlu dibela. Sementara saat ini, yang sedang terjadi adalah “perang” antara ormas yang secara vulgar mengaku membela Islam dan kelompok-kelompok lain, baik ormas keagamaan maupun kemanusiaan. Sebagian membawa panji Islam, sebagian lagi membawa kepentingan tokoh panutan kelompoknya, dan sebagian kecil membawa nama kemanusiaan/HAM. Sebuah peperangan yang mubadzir, jika sama-sama dilandasi pembelaan atas Islam. Karena esensi Islam adalah sebuah identitas dan ideologi yang abstrak, maka Islam bukanlah semacam senyawa organik-anorganik yang konkret. Apalagi secara ideologis, Islam sama sekali jauh dari konkret. Tidak adanya weltanschauung yang seragam tentang konsepsi Islam semakin menjauhkan Islam ke dalam keabstrakan.

Sebagai sesuatu yang abstrak, tentu tidak mudah melakukan pembelaan yang benar-benar membela. Yang ada dalam “pembelaan Islam” saat ini hanya pembelaan perspektif dari masing-masing individu atau kelompok. Pada dasarnya, pembelaan perspektif termasuk dalam kebebasan hak masing-masing individu untuk berijtihad, berpendapat, dan berbuat. Dan sebagaimana telah disepakati peradaban, kebebasan personal dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsepsi kebebasan personal tersebut bisa diterima oleh seluruh manusia yang beradab. Jadi, jika ada “pembelaan Islam” yang menyentuh bahkan menyinggung paradigma ideologis orang lain, maka hal tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Terlebih jika persentuhan atau persinggungan tersebut terhadap wilayah kemanusiaan/HAM.

Berbeda dengan Islam maupun identitas-ideologi (baca : agama) lain, kemanusiaan/HAM adalah potensi natural seluruh manusia. Konsepsi tentang HAM juga setidaknya telah disepakati oleh semua elemen manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsepsi bersama tersebut menunjukkan bahwa HAM adalah sesuatu yang konkret, berbeda dengan Islam. Jadi, posisi pembelaan HAM seharusnya lebih diutamakan daripada pembelaan Islam – dan identitas-ideologi lain tentunya. Sementara itu, yang banyak terjadi di masyarakat justru penggagahan HAM atas nama Islam.

Sebenarnya terlambat jika penulis mengajak untuk merekonstruksi paradigma pembelaan tersebut, karena sudah banyak tokoh-tokoh yang melakukannya. Sebut saja di antaranya Mohammed Arkoun dan Hassan Hanafi. Menurut Arkoun dalam bukunya al-Fikrul Islami; Naqdun wa Ijtihadun, dalam konteks beragama terdapat sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-aqlu al-aqa'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.

Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan berbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia - tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar - mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar identitas-ideologinya (entah secara perspektif atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.

Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).

Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir yang populer dengan al-yasar al-Islamnya, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan pembelaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.

Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar manusia lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertoleransi dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.

Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.

Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah mudah dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, dibutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlarah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma manusia dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini menjadi mainstream, menuju berbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.

Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang menggejolak akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agama yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri.

Sebagaimana digagas oleh kedua tokoh pemikir Islam kontemporer tersebut, penulis mencatat bahwasanya Islam tidak perlu dibela, bahkan tidak bisa dibela. Abstraksi Islamlah yang menyebabkan absurditas pembelaan Islam. Namun, hal tersebut tidak berarti membunuh Islam dan identitas-ideologi lain dengan nama kemanusiaan/HAM, abstraksi tersebut justru membawa Islam sebagai sesuatu yang akan membela kemanusiaan/HAM. Pada akhirnya, perpaduan antara identitas-ideologi dan kemanusiaan akan bisa berjalan bersama. God Knows.

Sumber Pustaka : Kompas Cyber Media (KCM), Ahmed Deedat dalam artikel refleksi Tuhan Tidak Perlu Dibela.

Read More......

No Bra In


d4mN with reallY nO Bra In

Entah mengapa aku kok ya bisa-bisanya to, sholat cuma pake celana pendek ama singlet doank. Yah, setidaknya aku tidak benar-benar hanya pake Bra.

Kapan-kapan gitu ku kok ya pengen nemuin Presiden kayak gini juga sih....

Ahhhh....Memang hidup dibikin mudah pasti lebih indah....

Allahummahdina....

Read More......

Idealisme Entitas yang Berseteru dan Terbelenggu



Berkaitan dengan kenyamanan, yang selama ini kerap aku dendangkan baik pribadi maupun dalam sapulidi. Kenyamanan dengan nikmatnya sami’na wa atho’na terbelenggu dalam status quo yang individualistis. Kenyamanan dengan tegas menolak status quo yang memang salah (pantas disalahkan), saking tegasnya sampai-sampai menolak bergabung dengan sang status quo. Kenyamanan dengan “sok idealis”, mengikuti saja arah air mengalir, tetap mengikuti permainan dengan sang berkuasa (bukan sang penguasa), namun berhasrat kembali menggoyang kekuasaannya. Kenyamanan yang entah apalagi namanya.

Untuk saudara-saudaraku, embrio-embrio yang sedang diseleksi oleh alam. Jangan lupakan kita pernah punya niat bersama (yang sama). Ketika kita pernah sangat marah jika ada yang bilang kita menjual ayat-ayatNya. Ketika kita mulai beradu mata dan kepala. Ketika kita sama-sama bangga dengan titel peserta program unggulan. Ketika kita sama-sama ceria dengan angka-angka imajiner. Ketika kita sama-sama nelangsa dengan kenyataan ditelantarkan. Ketika kita kemudian sama-sama gila bersms ria hanya untuk mengabarkan “DIJUAL 5000 RUPIAH”. Ketika kita sama-sama. Yah, memang seharusnya kita adalah sama, sama-sama, dan selalu bersama.


Ingat. Kita bukan sekedar sperma yang berebut ovum untuk menjadi makhluk sempurna. Yang dari jutaan sperma atau dari 27 kita, hanya ada 1 yang berhasil. Seleksi ini terjadi di saat kita sudah terbaptis dalam tujuan kita, bukanlah program yang membungkus. Masa bodoh dengan program itu.

Terima kasih untuk saudara-saudaraku yang masih merasa memiliki libido tinggi untuk benar-benar bermain.

Read More......

Antara Khauf dan Raja'



Sebuah analogi tentang semangat hidup dan kesadaran pada Yang Maha Pemberi Hidup.

Kowe kudu wedi karo Alloh. Jajal lek kowe gak diwehi moto, lekmu ndelok piye?, kata Fikri (6), pada Faiq (5) suatu hari. Mendengar itu, saya hanya trenyuh, karena keadaan Fikri yang notabene (maaf) cacat; kaki kirinya bengkok dan masing-masing dari kedua telapak kakinya menghadap ke luar. Subhanallah. Anak sekecil itu dan dalam keadaan seperti itu bisa mengambil hikmah yang luar biasa. Mata, lengkapnya Sepasang Mata, benar-benar merupakan anugerah yang sempurna dari Tuhan. Karena dengan sepasang mata, kita bisa menjalani kehidupan di dunia yang indah ini. Bayangkan jika kita tidak memiliki mata, atau paling tidak hanya memiliki sebelah mata. Akankah kita bisa menikmati dunia ini. Dan akankah kita tetap semangat menjalani hidup. Subhanallah.


Setelah itu, saya memutuskan untuk menulis tentang Fikri. Di kamar yang penuh spanduk bekas kegiatan, iklan, dan kampanye saya menata hati menulis ide tersebut. Ketika menyalakan player, terdengar lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Sebelah Mata :

Sebelah mataku yang mampu melihat
Bercak adalah sebuah warna warna mempesona
Membaur dengan suara dibawanya kegetiran
Begitu asing terdengar

Sebelah mataku yang mempelajari
Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku
Terbentuk dari sel akut
Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami


Tapi sebelah mataku yang lain menyadari
Gelap adalah teman setia
Dari waktu waktu yang hilang


Lagu ini juga tak jauh beda dengan cerita (nyata) tentang Fikri. Lirik lagu ini dibuat oleh Adrian, sang bassis, yang dikaruniai Tuhan dengan sebelah mata saja. Awalnya kedua matanya normal, namun disebabkan oleh diabetes secara perlahan dan bertahap sebelah matanya tidak bisa melihat lagi. Meskipun menderita diabetes akut seperti itu, Adrian tetap menjalani hidup dengan semangat. Bersama Cholil dan Akbar, mereka berkreasi dalam Efek Rumah Kaca, kelompok musik indie dari Jakarta - terkenal dengan salah satu hitsnya Di Udara yang membawa tema tentang aktivis HAM, Munir yang mati diracun di udara (di dalam pesawat terbang).

Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..


Kamu harus takut pada Tuhan. Coba kalau kamu tidak diberi mata, bagaimana kamu akan melihat?

Read More......

REVIVALISASI ISLAM LIBERAL



Adalah menarik bahkan terkesan unik, menyandingkan 2 term; Revivalisasi Islam dan Islam Liberal. Term pertama sebagai istilah yang sudah ada dalam pergulatan peradaban Islam menggambarkan sebuah upaya menjadikan Islam sebagai pemilik tunggal hak claim of truth and salvation, sedangkan term kedua lebih mengarah pada demokratisasi Islam dan humanisme. Islam Revivalis (trans-nasionalis, fundamentalis, konservatif dan tradisionalis) cenderung bersifat radikal dan “merasa paling benar”. Sedangkan Islam Liberal mengerucut pada kebebasan yang (sebenarnya masih) terbatas pada koridor-koridor interpretasi kemanusiaan. Pada akhirnya, Revivalisasi Islam Liberal dapat diartikan sebagai puncak capaian usaha pemikiran dan ideologi liberalisme Islam terhadap ranah peradaban manusia. Sebuah prestise kemenangan bagi peradaban Islam, Islam yang menjunjung tinggi kontekstualitas manusiawi dalam kerangka liberalisme.
Islam Liberal, meskipun dipandang sebagai produk budaya barat yang justru melecehkan Islam (K.H. Luthfi Bashori, Pimpinan PP. Al-Murtadlo Malang) dan apa yang ditawarkan hanyalah sebongkah kesesatan (K.H. A. Khalil Ridwan), namun paradigma murni yang diangkat dalam liberalisme adalah proses pembebasan dari keterkungkungan dalam dogma dengan tidak meninggalkan kesakralan dan kesucian aqidah dan tauhid kepada Yang Maha Mutlak. Kerap disalah-artikan, sebagai kebebasan interpretatif dan keberanian yang mengarah pada kelancangan. Islam Liberal, sebenarnya justru berupaya “memanusiakan” dan “menghidupkan” Islam sesuai dengan konteks dan komunitas yang lebih luas.
Sebenarnya, liberalismepun bukanlah hal baru dalam Islam. Jadi, Salah Besar (dengan S dan B kapital) jika ada yang mengatakan Islam Liberal adalah produk barat. Liberalisme Islam (dalam hal ini dinyatakan dalam kebebasan penafsiran terhadap dasar hukum syari’at) bermula pada saat pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab. Saat itu, setelah menaklukkan sebuah wilayah dar al-kuffar dalam invasi perluasan wilayah dan penyebaran Islam, pasukan Muslim mendapatkan tanah sitaan (daerah persawahan) di Irak, Persia, dan Mesir cukup banyak. Jika mengikuti ketentuan al-Qur’an surah al-Anfal ayat 41 sebagai adillatu al-syar’i (dasar hukum), seharusnya Umar membagi daerah tersebut 1/5 untuk kemaslahatan umat dan 4/5 untuk pasukan yang ikut dalam peperangan tersebut. Namun, berdasar asumsi bahwa pembagian tersebut justru akan mendatangkan fitnah dan khilaf di kalangan sahabat, maka Umar tidak membagikan ghanimah tersebut. Tanah sitaan tersebut tetap digarap oleh pemilik aslinya (kaum kafir) dengan syarat mereka membayar kharaj (pajak) kepada pemerintahan Islam. Sedangkan status tanah tersebut menjadi milik negara (Islam).
Waktu itu Umar ditentang keras oleh beberapa sahabat lain, di antaranya Bilal ibn Rabah, Zubair ibn Awwam, dan Abdurrahman ibn Auf. Mereka sebagai representasi sahabat yang literalis menganggap Umar terlalu berani menafikan nash al-Qur’an dan juga sunnah Nabi yang membagi ghanimah sesuai rumusan al-Qur’an tersebut pada peperangan di Khaibar. Karena kerasnya tekanan dari Bilal, Umar bahkan berdo’a, “Ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”. Meskipun ditekan sedemikian hebatnya, Umar tetap bertahan sampai akhirnya pendapatnyalah yang diterima masyarakat umum.
Berangkat dari kasus Umar dan Bilal, dapat ditarik dua versi pemahaman Islam; liberal dan literal. Yang menurut Ahmad Sahal, berarti yang literal maupun yang literal sama-sama anak kandung Islam yang sah. Islam literal memandang nash al-Qur’an adalah sebagai dasar hukum yang sah, dan hanya bisa didukung atau dilemahkan dengan nash lain (sunnah Nabi), juga dengan ijtihad ulama’. Namun, pendapat seperti itu justru berujung pada tekstualitas penafsiran beragama. Penafsiran rasional-liberal-sosial-kontekstual tentu tidak searah dengan pemikiran literal.
Implikasi dari pandangan literal mengakibatkan totalitas nash dalam mengatur seluruh wilayah kehidupan; privat dan publik. Nash juga memiliki akses yang tak terhingga dalam segala aspek kemanusiaan, menembus batas ruang-waktu, dan mengatasi berbagai karakter historis. Lebih jauh, latar belakang Arab sebagai konteks di mana Nabi tinggal menjadi latar belakang yang “resmi” dalam dunia Islam. Segala hal di luar Arab dianggap sebagai bukan Islam.
Sedangkan Islam dalam perspektif liberalis lebih luas dalam interpretasi nash sebagai adillah al-syari’ah. Liberalis menggunakan nash dengan mencari maqashid al-syari’ahnya, jadi mereka tidak serta-merta beramal sesuai dengan nash tersebut (letterlijk). Mereka memposisikan wahyu sebagai hal yang progresif dan harus disesuaikan dengan konteks komunitas masyarakat setempat, bahkan menolak tekstualitas al-Qur’an. Namun, paradigma sedemikian bukan ingin menyempitkan penggunaan syari’at hanya di era dan daerah tertentu saja. Penerapan syari’at di Indonesia tentu berbeda dengan Arab Saudi. Aplikasi kontemporer juga tentu berbeda dengan masa-masa terdahulu. Lebih jauh, paradigma demikian justru akan lebih mendekatkan nash dengan masyarakat penggunanya.
Berkaitan dengan maqashid al-syari’ah dan kontekstualitas al-Qur’an, sahabat Umar ibn Khattab sebagai founding father Islam Liberal juga tidak hanya sekali (dalam kasus pembagian ghanimah) meninggalkan makna harfiah nash. Contoh lain terdapat pada saat beliau menghakimi seorang pencuri unta miskin. Jika berdasarkan pada al-Qur’an surah al-Ma’idah 38, pencuri tersebut harus dipotong tangannya. Namun Umar tidak memotong tangannya karena konteks masyarakat pada saat itu sedang dalam masa paceklik yang sangat berat.
Terlepas dari pandangan literalis-liberalis yang secara signifikan berbeda, keduanya adalah sama-sama produk kebudayaan Islam. Memposisikan keduanya harus dalam posisi yang sejajar, karena sejauh ini tidak ada yang tahu siapa benar-siapa salah. Keduanya sama-sama dalam proses road to the peace, truth, and salvation. Jadi, sama sekali tidak bisa dibenarkan jika ada justifikasi bahwa kelompok lain adalah salah, bahkan dipandang sesat dan kafir. Karena barangsiapa mengkafirkan saudaranya sesama muslim, maka dia sendirilah yang sebenarnya kafir (al-hadits). Ghafarallah anhum. God Knows.

Read More......

imbuhan me - kan yang membingungkan

mengartikan sesuatu hal itu gampang2 susah
gampang jika hal itu sudah milik masyarakat
susah jika hal itu masih milik masyarakat
terkadang mengartikan sesuatu hal itu tabu
di lain waktu mengartikan sesuatu hal itu harus
yang pasti jangan mengartikan sesuatu hal sebelum diartikan

Read More......

Jangan Didefinisikan

Apa lagi yang akan didefinisikan
Tak sadarkan definitor2 itu

semua hal2 luhur adalah benar
asalkan tidak sampai dirumuskan (JWM Verhaar)


Karena ketika suatu nama kusebut
kau akan memberikan arti lain
daripada makna yang hidup di hatiku (Jalaluddin Rumi)


Lagipula,
Apalah arti sebuah nama? (William Shakespeare)

Read More......

(Lagi2) tentang orisinil dan otentik

orang2 bumi sudah tahu
semua yang orisinil itu orisinil
semua yang otentik itu otentik
itu karena tidak ada yang tanya

orang2 bumi seharusnya ngerti
semua yang orisinil itu bukan orisinil
semua yang otentik itu bukan otentik
itu jika tidak ada yang cari

orang2 bumi sudah seharusnya tahu
semua yang orisinil itu harus dibantah
semua yang otentik itu harus dibantah
sampai mereka lelah
dan menyerah

Read More......

Yang Bukan Milik Siapa-siapa

Claim of truth and salvation
Yang sering dimiliki orang-orang itu
Pun bukan kebenaran dan keselamatan
Tetap saja ramai dimiliki
Kepemilikan hak klaim
Bukan lantas hak milik

Tapi, orang-orang itu justru mengklaim memiliki
dan menghukum orang-orang yang lain
Orang-orang yang lain juga menghukum orang-orang itu
dengan klaim kepemilikan yang mereka miliki

Sebenarnya
Kebenaran dan keselamatan bukan milik siapa-siapa
Bahkan
kebenaran dan keselamatan bukan apa-apa
jika saja orang-orang semua tidak merasa memiliki dia

(dimuat di sapulidi lidisitiga)

Read More......

Sebuah kesalahan yang membudaya

15 abad umur agama Islam
Apa yang dilakukan orang2?
Adakah al-Quran diamalkan?
Payah
al-Quran tak jadi otoritas
Justru tafsir2 buatan manusia yang jadi amalan

Read More......

teks yang sering dibaca dan diperbincangkan

22 tahun 2 bulan 22 hari
turun dari lauh al-mahfudz kepada sang nabi
dengan perantara jibril

konversi dari sesuatu yang lampau
menjadi sesuatu yang baru


nah, ini pertanyaannya
barukah atau lampaukah
dan di manakah dua sesuatu itu kini

Read More......

tentang sebuah kenyamanan

saat dia membawa jalan cahaya bagimu
kau mengikutinya
kau merasakan nikmat dalam jalannya
tidak inginkah kau mencari jalan sendiri
yang sebenarnya pun tak beda dengan dia


sangat disayangkan

jika kau berjalan hanya mengikuti
kini saatnya kau merobohkan kenyamanan itu
tapi buatlah kenyamanan baru

Read More......

Syukur Nikmat; Tafsir al-Takatsur 5-8

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surat al-Takatsur sebagai salah satu surat Makiyyah dalam al-Qur'an menerangkan tentang peringatan dan ancaman Allah terhadap orang-orang yang saling bermegah-megahan dalam kehidupannya. Kemudian Allah menurunkan surat ini berkaitan dengan mereka sebagai petunjuk bagi manusia pada masa kini. Karena esensi al-Qur'an adalah sebagai hudan li al-Muttaqin, Petunjuk bagi umat manusia.
Surat al-Takatsur terdiri dari 8 ayat.. Isi atau pokok kandungan surat al-Takatsur adalah; sifat manusia yang saling menyombingkan diri dan kelompoknya yang terdapat pada awal surat ini, dan peringatan Allah atas akan datangnya hari Akhir pada bagian akhir.

B. Rumusan Masalah

1. Surat al-Takatsur dalam pandangan Sosio-Historis
2. Korelasi surat al-Takatsur dengan surat-surat lain di al-Qur'an
3. Kandungan Ayat dalam al-Takatsur bedasarkan implikasi kekinian













BAB II
SURAT AL-TAKATSUR
(BERMEGAH-MEGAHAN)

Ayat 5-8
كلا لو تعلمون علم اليقين (5)
لترون الجحيم (6)
ثم لترونها عين اليقين (7)
ثم لتسئلن يومئذ عن النعيم (8)

5. Janganlah begitu, Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam,
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin,
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)


Surat Al-Takatsur ayat 5-8 diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mendustakan hari akhir dan neraka. Berkaitan dengan surat sebelumnya, yakni Surat al-Qori'ah. Jika pada surat al-Qori'ah memberikan deskripsi tentang peristiwa pada Hari Kiamat, maka dalam surat al-Takatsur ini menegaskan peringatan dan pertanyaan Allah pada masing-masing individu atas amal perbuatannya. Sedangkan menurut al-Biqa'I (809 – 885 H), surat ini lebih dekat pada menerangkan Surat al-Adiyat.
Ayat 5-8 dari Surat al-Takatsur ini masih berkaitan erat dengan ayat 1-4 yaitu tentang orang-orang yang saling bermegah-megahan dan bersaing dalam kekayaan dan banyaknya jumlah anggota mereka.


A. Pandangan Sosio-Historis
Kehidupan masyarakat Arab pada saat turunnya surat ini bercorak iklim egoisme primordialistis. Mereka cenderung membanggakan kesukuan, bahkan bersaing dengan suku lain dan saling menjelek-jelekkan. Kemudian turunlah Ayat 1-4 yang lantas menunjuk pada persaingan Bani Harts dan Bani Haritsah. Sedangkan turunnya ayat 5-7 masih berkaitan erat dengan ayat 1-4 sebagai acuan terhadap perbuatan mereka yang saling bermegah-megahan. Selain itu, masyarakat Arab pada umumnya kurang begitu bersyukur dengan nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah, sehingga turunlah ayat ke-8.
Secara esensial, segala aspek kehidupan ini merupakan nikmat dari Allah yang harus disyukuri, maka seharusnya umat muslim –dan umat manusia seluruhnya- bersyukur dan menyembah Allah dengan kaaffah. Namun, masyarakat Arab masa itu banyak yang lalai untuk bersyukur dengan menafikan nikmat yang telah diterima. Jika dikaitkan dengan perspektif kekinian, maka akan ada banyak korelasi yang faktual dengan Surat al-Takatsur ayat 5-8 ini.
Masyarakat dunia secara umumnya –yang pada ekstensinya merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan-, banyak meninggalkan himmah untuk bersyukur dengan meminimalisasi batas-batas nikmat yang diberikan Allah. Jika saja mereka memahami hukum kausalitas (sebab-akibat) dengan positif, pastilah akan ditemukan kebenaran hakiki.
Sense of thanksgiving mutlak harus dimiliki manusia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa terciptanya manusia sudah merupakan nikmat yang luar biasa besar. Allah swt. berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي َادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172}
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan turunan anak Adam dari tulang punggungmu dan Tuhan mengambil kesaksian mereka sendiri, firmannya : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka (roh manusia sebelum ditiupkan) menjawab : benar ! Kami telah menyaksikan. Nanti di hari kiamat agar kamu tidak mengatakan : bahwa kami lalai terhadap hal ini".

Dalam tafsir al-Manar, Muhammad Abduh mengenterpretasikan ayat ini mengandung dua poin utama esensi penciptaan manusia, yaitu :
1. Manusia telah diciptakan Allah atas fitrah Islam.
2. Dalam jiwa manusia, sudah ditanamkan gherizah (naluri, potensi) iman.

Sebagai perwujudan sense of thanksgiving, manusia harus "memberikan sesuatu" sebagai ungkapan terima kasih atas nikmat yang telah diterima. Dengan analogi; Tuhan telah memberikan nikmat hidup pada manusia, sebagai kebalikannya manusia juga harus memberikan "hidup" atau apapun yang setara dengan nikmat yang diterima. Dan karena manusia tidak memiliki apa yang dibayarkan kecuali diri sepenuhnya maka ungkapan itu tidak lain dibayar dengan penyerahan dirinya berupa ketaatan dan ibadah pada Tuhan.


B. Korelasi Surat
Surat al-Takatsur memiliki hubungan timbal-balik yang kompleks dengan surat sebelumnya; al-Qori'ah dan sesudahnya; al-Ashr. Dalam surat al-Qari'ah, dijelaskan bahwa Allah mendeskripsikan situasi pada saat hari Kiamat. Dan hal tersebut ditekankan kembali dalam surat al-Takatsur yang mengancam orang-orang yang tidak percaya dengan datangnya hari akhir. Ancaman atau peringatan tersebut terdapat pada ayat 5-7. Berkaitan dengan surat al-Ashr, maka membawa manusia untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, karena hakikat manusia adalah fi khusrin (merugi), kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Selain itu, surat al-Takatsur juga memiliki arah yang senada dengan surat al-Ma'un dalam permasalahan syukru al-ni'mah. Dalam surat al-Ma'un digambarkan tentang orang-orang yang enggan bersyukur atas nikmat yang telah diterima. Orang-orang tersebut tidak mau memberi makan anak yatim dan orang miskin.
Secara garis besar, surat-surat tersebut memerintahkan umat manusia untuk lebih berintrospeksi pada amal yang dilakukan dan nikmat yang diterima. Karena hari Akhir pasti akan datang dan orang-orang yang menafikan syukur telah dijanjikan balasan berupa neraka Jahim dan Wail oleh Allah swt.

C. Kandungan Ayat
كلا لو تعلمون علم اليقين (5)

5. Janganlah begitu, Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Ayat ini diawali dengan lafad Kalla yang berarti; Jangan begitu, Tidak (seperti itu). Sedangkan penggunaan lafad Kalla tersebut pasti memiliki kaitan dengan pernyataan sebelumnya. Jadi, ayat ini masih berhubungan dengan pernyataan sebelumnya, yakni tentang orang-orang yang saling bermegah-megahan.
Kemudian, penggunaan kata Lau yang bermakna pengandaian. Dalam kalimat tersebut, Allah menggambarkan bahwa seandainya orang-orang yang bermegah-megahan tersebut mengetahui dengan yakin, pasti mereka tidak akan saling bermegah-megahan, karena sudah dihadapkan dengan nash dalam ayat berikutnya tentang neraka Jahim.
Ilmu atau pengetahuan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut berarti ilmu yang yaqiniy, bukan sekedar mengetahui. Menurut al-Maraghi, Ilmu yang dimaksud adalah ilmu secara yakin dan sesuai dengan kenyataan di samping dapat diindera dengan alat indera atau dalil yang benar.
Qatadah berkata dalam tafsir al-Baghawi :
كنا نتحدث أن علم اليقين أن يعلم أن الله باعثه بعد الموت
"Kami berbincang-bincang bahwasanya yang dimaksud dengan Ilmul Yaqin adalah Jika seseorang mengetahui bahwa Allahlah yang akan membangkitkannya setelah mati"


لترون الجحيم (6)
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam,

Ayat ini merupakan jawaban dari ayat sebelumnya yang menyebutkan "Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin", dan sebagai jawaban adalah "Kamu akan melihat neraka Jahannam". Ayat ini ditujukan pada orang-orang yang tidak percaya akan datangnya hari kiamat dan segala hal yang berkaitan dengannya, termasuk surga dan neraka.
Pendapat awal dapat dimengerti bahwa penggunaan kata رأى dalam ayat ini bukan berarti melihar dengan mata kepala sendiri, melainkan melihat dengan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki dengan yakin. Namun dalam tafsir Ibn Katsir, yang dimaksudkan "melihat" dalam ayat ini adalah penglihatan orang-orang kafir penghuni neraka yang telah bermegah-megahan semasa hidupnya.


ثم لترونها عين اليقين (7)
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin,

Berbeda dengan penggunaan رأى dalam ayat sebelumnya, maka dalam ayat ini yang dimaksudkan adalah melihat dengan sebenar-benarnya, dengan mata kepala sendiri dan dengan penuh keyakinan. Hal inilah yang akan menjadi I'jaz bagi orang-orang yang pada awalnya mendustakan keberadaan hari akhir. Pada saat itu, mereka akan dihadapkan pada neraka Jahim (dan segala isi hari akhir) dengan nyata sehingga menjadikan keyakinan yang sangat pada diri mereka.
Ainul Yaqin dapat didefinisikan sebagai sebuah pengamatan mendalam yang penuh keyakinan dan tidak dapat dipungkiri. Tingkatan ainul yaqin lebih tinggi dari ilmul yaqin sebagaimana terdapat dalam ayat ke-5. Jika ilmul yaqin berarti mengetahui dengan yaqin, yang meskipun yakin dengan pengetahuannya dan didukung dengan dalil atau hujjah yang memperkuat keyakinannya, namun masih belum cukup kuat karena tiadanya bukti yang nyata
Pengarang kitab al-Muntakhab .menambahkan dalam penafsiran ayat ini : Betapa buruknya tempat kembali kamu sekalian. Kalian pasti akan terkejut dengan gaya hidup yang bermegah-megahan itu. Dan tentu kamu akan berbekal untuk akhirat.

ثم لتسئلن يومئذ عن النعيم (8)
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu)

Ayat ini menyebutkan sebuah peringatan dari Allah pada seluruh manusia dan khususnya pada orang-orang yang saling bermegah-megahan dan tidak mempercayai hari akhir. Pada hari akhir kelak, setiap amal perbuatan manusia akan ditimbang dan dipertanyakan. Terutama segala kenikmatan yang telah diterima manusia.
Diriwayatkan oleh Anas ibn Malik : Ketika turun ayat ke-8 surat al-Takatsur ini, seorang yang miskin datang pada Nabi dan bertanya, "Apakah ada kenikmatan yang kumiliki, Ya Rasulullah?", kemudian Nabi menjawab, "Iya, naungan, rumput, dan air yang sejuk."
Dalam hadits tersebut diterangkan betapa berartinya nikmat dari Allah, sehingga hal-hal kecil yang seringkali dianggap remehpun juga dihitung sebagai nikmat Allah. Apalagi hal-hal yang prinsip dan primer seperti nyawa, anggota badan, dan akal. Begitu juga dengan kekayaan dan kemegahan yang mutlak merupakan nikmat dari Allah. Namun, banyak sekali manusia yang belum bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah.
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits yang ditetapkan dalam Sahih Al-Bukhari dan Sunan At-Tirmidhi, An-Nasa'I Dan Ibn Majah dari Ibn ` Abbas. Bahwa Rasulullah bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغ
"Dua kenikmatan yang sering disepelekan oleh kebanyakan manusia; kesehatan dan waktu luang"

Allah berfirman,
..... إِنَّ اللهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ {243}
"….. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur."

Lebih jauh mengenai syukur nikmat, Allah berfirman,
..... لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدُُ {7}
"….. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Tambahan ni'mat Allah yang dijanjikan ini paling tidak berupa lima perkara:
1. Kekayaan.
وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
"Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana" (QS Attaubah: 28).
2. Doa yang mustajab.
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُوْنَ فَيَـكْشِفُ مَا تَدْعُوْنَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَ تَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُُوْنَ
"(Tidak) hanya kepada-Nya-lah kamu berdo'a, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdo'a kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)." (QS Al-An'am 41).
3. Mendapatkan rejeki.
وَ اللهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِـغَيْرِ حِسَابِ
"Dan Allah memberi rejeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas" (QS Al-Baqarah 212).
4. Mendapatkan maghfirah.
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيْماً
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (QS Annisa' 48).
5. Menerima taubat.
و يَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
"dan Allah menerima tobat orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana" (QS Attaubah 15).

Dengan demikian, ayat ini menunjukkan pasal kewajiban untuk bersyukur tehadap nikmat yang diterima. Bahkan jika manusia bersyukur terhadap nikmat, niscaya Allah akan menambahkan nikmat-Nya. Selain itu, ayat ini juga membawa ancaman pada orang-orang yang mengingkari nikmat dengan menunjukkan azab berupa neraka bagi mereka yang mengingkari.
BAB III
PENUTUP


A. Simpulan
1. Surat al-Takatsur turun dalam masyarakat Arab yang primordialistis dan sombong sehingga tidak bersyukur atas nikmat yang diterima dari Tuhan.
2. Surat al-Takatsur memiliki hubungan dengan surat-surat lain dalam al-Qur'an, khususnya surat al-Qari'ah, al-Adiyat, al-Ashr, dan al-Ma'un.










BIBLIOGRAFI
al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi
al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya
Hawwa, Sa'id , TazkiyatunNafs (Intisari Ihya Ulumuddin)
ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir
Ma'shum, Pendusta-pendusta Agama; Tafsir Surat al-Ma'un
Syihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah

Read More......

wacana - do'a

PENGUMUMAN

Mulai sekarang, ucapan "shadaqallahul'adhim" diganti dengan "wah, jangan-jangan yang kubaca tadi bukan dari Tuhan" dan "rowahu…." diganti dengan "dikarang oleh…."


Duh Gusti,
Jika Engkau hitung pembuat pengumuman itu
Pendosa agamamu
Ampunilah jiwanya

Read More......

Makalahku [Sejarah Perkembangan Hadits pra-Kodifikasi]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Khulafa' al-Rasyidin?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?






BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA-KODIFIKASI

A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.
Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,
"بلغوا عنى ولو أية"
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”[1]


Dalam hadits lain disebutkan,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "
“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku).[2]
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.[3]

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang berbunyi,
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).[4]
Disini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.[5]

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”[6]

B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits (عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.[7]
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya."[8]
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu semua."[9]

2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.[10] Namun pada dasarnya, periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.

3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.

C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".

2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.[11]
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani













BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami pelarangan penulisan dengan alasan di antaranya; khawatir tercampur dengan al-Qur'an.
2. Pada masa Khulafa' al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar – Umar r.a dan perluasan periwayatan pada masa Khalifah Utsman – Ali r.a
3. Pada masa tabi'in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa itu, banyak bermunculan hadits-hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik golongan.







DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
al-Khathib, Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwin. Cairo : Maktabah Wahbah. 1963
______________. Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr. 1989
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya. 1995
Malik, Imam. al-Muwattha'.
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2001
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Surabaya : Mutiara Ilmu. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003
[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab al-Anbiya, no.50
[2] Ibid., bab al-Iman, no. 9
[3] Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadis Nabi, hal. 31
[4] H.R. Muslim dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129
[5] Hasan Sulaiman Abbas Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. hlm. 16
[6] H.R. Ahmad Juz 12. hlm. 232
[7] Imam Malik, al-Muwattha', J. 2, hlm. 513
[8] Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla Tadwin, hlm. 96
[9] Ibn Sa'ad, Juz 3, hlm. 135
[10] Ajjaj al-Khathib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm. 97-98

[11] Ibnu Jauzi, Talqih Fuhumi Ahli al-Atsar. Dan Al-Kirmany.

Read More......