teobarbarian

"Bullshit!" gumamku melihat berita di teve. Sebuah tayangan sweeping diskotik oleh kelompok Islam kanan garis keras, BLT, Brigade Laskar Tuhan. Konon, kelompok ini merupakan reinkarnasi dari API, Aksi Pembela Islam, yang kolaps paska Insiden Monas 3 tahun lalu. Setelah kejadian -yang menurutku sangat konyol- itu, API dikecam habis-habisan hingga Pemerintah “terpaksa” membubarkan organisasi massa tersebut, di samping juga mengeluarkan pelarangan untuk Ahmadiyah, salah satu sekte dalam ajaran Islam yang dianggap sesat dan menyimpang. Ah entahlah, apapun itu aku tak tahu benar. Yang pasti, paska-pembubaran API, beberapa tokoh kunci API kembali menyusun kekuatan dan membentuk BLT. Mereka semakin "aman" karena pada Pilpres tahun 2009, nyaris enam puluh persen rakyat Indonesia memilih calon presiden yang diusung Partai orang-orang "kaku" dan "merasa paling benar" tersebut. Meskipun aku belum banyak tahu kiprah keislaman presiden baruku ini, aku tahu bahwa dia orang penting di parlemen pemerintahan sebelumnya. Ah, akupun juga tak mau membicarakannya. Yang aku tahu pasti hanyalah Islam adalah agama kekerasan, agama yang dibangun dengan pedang dan perang.

Hari ini hari Minggu, tapi aku sudah sejak lama tidak pergi ke gereja, justru setelah aku kuliah di Spartacus, STT (Sekolah Tinggi Teologi) favorit di Jogja. Tak terasa sudah hampir setahun aku menikmati "murtad"ku ini. Padahal di kampusku tak semua orang "murtad", bahkan ada teman sekelasku yang cenderung fanatik, persis seperti API atau BLT yang kugambarkan tadi. Yah, memang dulu dia pernah jadi tukang kebun di gereja. Jadi menurutku, wajarlah kalau nalurinya naluri pengabdi. Daripada hanya tidur-tiduran di kontrakan, kupikir lebih baik pergi ke warnet. Sesampainya di MoyNet, warnet langgananku di belakang Ambarrukmo Plasa, seperti biasa aku langsung mengambil Paket 3 Jam. Prinsipku, ngenet kalo cuman paket personal alias jam-jaman malah rugi, toh ngenetku pasti minimal 4 Jam. Setelah masuk ke yahoo.co.uk, aku langsung mengetik username denologis dan password *********** untuk login. Ternyata sudah ada 14 e-mail baru. Biasa saja sih, paling-paling juga ada info new comment dari blogger.com dan friendster.com, atau yang agak serius biasanya aku mendapat kiriman newsletter dari faithfreedom.org, islamlib.com, dan situs-situs keagamaan (atau keantiagamaan) lain.

Selanjutnya aku buka aplikasi Yahoo! Messenger dan login seperti tadi. Aku biasanya masuk ke room religion, entah Christ, Islam, Jewish, apapun. Bukan apa-apa, di chat room aku justru suka membuat masalah. Misalnya, di room Christ aku tulis I AM SON O’MARIA besar-besar dengan warna mencolok. Atau I DON’T BELIEVE di room Islam. Atau WHAT DO YOU DO WITH YER HANDS di room Buddhist. Hahahaha….
Oops, belum sempat kujalankan "niat jahat"ku menebar teror di room religion, ada instant message masuk dari nickname annalee99, dammit! she is my old friend!!! Long time no see dan akhirnya berjumpa kembali di chat room. Dia adalah temanku ketika ikut program IALF (Indonesian-Australian Language Foundation), sebuah program pemantapan bahasa Inggris untuk persiapan kuliah di luar negeri. Tapi aku tidak ikut program itu, saat itu aku di Bali karena kabur dari rumah (hehehehe), setelah berdebat dengan orangtuaku yang pendeta Katolik dan berfikiran kuno. Kami bertemu dan kenalan sewaktu menonton upacara Ngaben, salah satu upacara adat masyarakat Hindu. And I think she is nice Moslem. Aku tidak menekankan pada Moslemnya, tapi pada nicenya. ^-^


annalee99: hi buddy
denologis: how are you????
annalee99: I'm fine. 5 years since our last meeting in Bali, n 2 years on-air
denologis: Yupz
annalee99: apa yang kau kerjakan sekarang? Masih bingung di jalanan?
denologis: ya iya lah. Lha engkau sekarang masih di Kanada kah? Atau di Bali lagi?
annalee99: Aku di Jogja sekarang, gawe ma temen2
denologis: What!!!! Jogja???? I'm here now. Where are you? Serius, aku tak tahu kau ada di Jogja. Aku sekarang studi di Spartacus.
annalee99: Beneran kamu? Aku di Kotagede. Kalo lagi nganggur, maen ke sini juga boleh
denologis: Dekat dong. Aku ngontrak di Kadipolo. Eh, ngomong2, kau masih muslim kan? [pertanyaan aneh ^-^]
annalee99: memang aneh banget, ya masih lah. Emang kenapa? Kamu juga masih Christ kan? Kuliah di Spartacus je….
denologis: Gak tau ya. Maksudku, aku masih pikir2 lagi tentang agama. Menurut kamu gimana?
annalee99: Wah, aku no comment deh. Tau sendiri kan kalo kuliahku di social studies ini…
denologis: Lha hiya itu, kalo secara sosial, kamu ada solusi untukku gak?
annalee99: Kalo menurutku, ya sukasukakamu dong. Agama kan hak privasi, gak boleh ada pemaksaan, apalagi dengan kekerasan
denologis: Kamu muslim kan?
annalee99: Look at what I just said. I'm absolutely Moslem.
denologis: Ehm, please jangan tersinggung ya. Coz tak kira, kamu gak akan munafik. Kalo menurutku, agama Islam tu agama perang deh. Aku liat di media, wah parah, all about Islam is just about CRIME. Once 'gain, I'm so sorry kalo kamu tersinggung.
annalee99: Gimana yah….Tersinggung sih tidak. Coz menurutku, yang kamu liat di media itu salah satu wajah Islam yang terlalu fundamental. And parahnya hal itu justru diblow-up media besar2an
denologis: Bisa jadi sih. Trus kalo menurut kamu, Islam itu idealnya gimana?
annalee99: menurutku, (and this is reason why I believe Islam) Islam itu agama yang ramah. Jadi, pada hakikatnya kekerasan dalam Islam itu tidak ada, bahkan dilarang
denologis: Lha trus API? BLT? Apa mereka tidak melakukan kekerasan atas nama Islam????
annalee99: Seperti aku bilang tadi, mereka adalah salah satu wajah (yang menurutku buruk) dalam Islam. Tapi aku juga gak bisa bilang mereka bukan Islam lo…. I think paradigma seperti mereka juga ada dalam kristiani kok. I mean fundamentalnya itu lho. Katolik gitu kah?
denologis: Iya juga sih. Makanya aku bingung dengan agama-agama-agama
annalee99: meskipun tadi aku udah bilang agama hak privat, tapi aku boleh kasih saran kan?
denologis: B O L E H
annalee99: 1. kamu kaji kembali keyakinan agama kamu, ambil doktrin yang sesuai dengan kamu, 2. pelajari dan telaah relevansi dan kegunaan doktrin-doktrin tadi, 3. pertimbangkan dengan hati nurani kemanusiaan kamu, 4. pertimbangkan dengan logika rasional kamu
denologis: kok bingung ya.
annalee99: ya emang musti gitu. Ntar kalo udah ketemu jalannya kan bisa survive
denologis: tak coba deh. Wah, makasih banget yah traininge
annalee99: welkam. Eh, besok ngobrol lagi ya, sorry, aku musti cabut dulu neh. C u.
denologis: key. Best regard, denologis.

Tak terasa sudah 4 jam berlalu. Selain diskusi dengan annalee99, aku juga membalas komentar-komentar di blogku. Nyaris tiap hari, ada saja komentar pedas yang masuk, pasalnya, bahkan menurutku sendiri, tulisanku terlalu vulgar, seperti Moammar Emka yang menggambarkan Pajero Goyang dalam Jakarta Undercover. ^-^ Entahlah, aku memang selalu meracau dan mengacau jika bicara tentang agama dan Tuhan. Mungkin, chatting singkat dengan annalee99 tadi bisa kujadikan bahan renungan untuk kembali mengenal Yesus, Maria, Saint Paul, dan entah siapa lagi tokoh-tokoh agamaku. Aku tidak banyak mengenal mereka. Yah, mungkin. [imagined by denologis - pemurung biasa saja yang heran dengan orang teriak allahu akbar, pake peci tapi kelakuannya barbar]

dimuat di sapulidi [BARU} lidisiempat

Read More......

Maulana Farid Esack; sang pembebas, yang tertindas


Ia adalah salah satu tokoh Islam Kontemporer yang tidak bosan-bosan menyerukan renaissance dalam paradigma pemikiran Islam. Dengan titik pemikiran terfokus pada Hermeneutika Qur’an, Esack menawarkan Teologi Pembebasan bagi ketidakadilan. Dengan keberanian yang dimilikinya, ia sangat meyakini bahwa Kitab Suci Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang memberikan pemihakan kepada kelompok lemah atau mustadh’afin. Maka segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an harus berpihak kepada kaum mustadh’afin, setidaknya menolak ketidakadilan. Komitmen membangun sebuah masyarakat egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, dan tanpa rasialisme primordial harus menjadi barometer baku dalam setiap penafsiran teks-teks suci.

Esack adalah model intelektual organik —untuk memakai kategori Antonio Gramsci— yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya. Ia termasuk dalam avant garde pemberangusan rezim apartheid di Afrika Selatan. Bersama kawan-kawan se-perjuangannya, mereka melawan otoritarianisme pemerintah kolonial dalam mengatur negara. Namun bersama kawan-kawan muslim se-idenya, ia tak hanya melawan rezim penguasa, namun juga terpaksa melawan umat Muslim lain yang berideologi literal dan konservatif. Gagasannya tentang Teologi Pembebasan yang sama sekali baru dalam dunia Islam, khususnya di Afrika Selatan, ditentang oleh ulama-ulama sepuh di negara tersebut. Menurut mereka, ide tersebut sama saja dengan menafikan Islam sebagai Dien al-Haqq, pemegang kebenaran eksklusif.

Status Quo yang Kompleks

Farid Esack lahir pada tahun 1959 dalam asuhan seorang ibu yang menjalani hidup sebagai single parent. Ayahnya hilang ketika ia masih berumur dua minggu. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang berjumlah enam orang.

Adalah Apartheid, sebuah sistem dikotomi dan klasifikasi berdasarkan etnis yang kemudian mengantarkan Afrika Selatan menuju peradaban yang sangat tidak manusiawi. Pemerintah kolonial menetapkan berbagai peraturan yang menyengsarakan pribumi. Penerapan Group Areas Act (Akta Wilayah Kelompok) pada 1952 yang tidak adil menempatkan warga kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna di daerah-daerah paling tandus di negeri itu. Sebagaimana keluarga Esack yang harus pindah dari Wynberg, Western Cape, ke Bonteheuwal, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats. Baik di Wynberg maupun di Bonteheuwal, mereka tinggal bertetangga dengan umat Kristen sebagai mayoritas di Afsel. Selain orang Islam sebagai minoritas, di daerah mereka juga tinggal beberapa orang Yahudi dan Baha’i. Namun, perbedaan ideologis itu tidaklah mendasar dan menyebabkan kebedaan antara mereka. Merasa senasib dengan penindasan kolonial, mereka hidup bersama dalam pergumulan sosial yang baik dan akrab.

Mengenang solidaritas tetangga-tetangganya yang beragama lain, Farid mengatakan, “kepada tetangga Kristen itulah kami bergantung demi semangkuk gula untuk menyambung nafas untuk hari-hari berikutnya. Dan mereka tempat berbagi derita. Kepada tuan Frank kami memohon perpanjangan waktu kredit yang seolah-oleh tiada akhirnya. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkan berkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristen membuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaim keselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhami saya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik dari agama lain. Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan masuk neraka?.” Dari kenangan tersebut terpantul benih-benih pluralisme dalam diri Esack sejak dini. Solidaritas dan penerimaan terhadap orang lain tanpa dihantui oleh perbedaan agama, ras dan kelamin merupakan inti dari pluralisme yang tertanam kuat pada diri Esack sampai saat ini.

Kebijakan lain adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi buatan Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.

Parahnya, gambaran kehidupan menyedihkan seperti itu justru berjalan lancar dengan peran serta kaum akomodasionis – sebagaimana Esack menyebut Muslim ataupun Kristiani fundamental. Meskipun pada dasarnya mereka menolak penindasan kolonial, namun mereka tidak lantas melakukan aksi frontal melawan rezim penjajah. Justru semakin melanggengkan sistem apartheid dengan menikmati status quo; dikotomi kesukuan dan keagamaan yang sayangnya mereka sadari sebagai eksklusivisme.

Karena dukungan secara tidak langsung mereka pada kolonial, kaum akomodasionis banyak yang kemudian mendapat posisi di birokrasi, terutama dalam hal pendidikan. Akibatnya sangat fatal, pelajar-pelajar dari berbagai etnis dicekoki doktrin kewajiban untuk patuh pada pemerintah sebagai representasi Tuhan. Sistem pendidikan yang bertujuan membungkam rakyat untuk tidak melawan pemerintah. Saat itu, lembaga-lembaga pendidikan sangat terbatas, karena izin pendirian lembaga diberikan hanya untuk lembaga pendidikan Kristen. Jadi, semasa kecilnya Esack bersekolah di sekolah Kristen dan diberikan pengetahuan dogmatik untuk membenarkan (memberikan pembenaran atas) status quo yang kompleks tersebut.

Pertarungan yang Sebenarnya

Sejak kecil, Esack sudah menjadi anggota Jama’ah Tabligh, hingga akhirnya ia diberangkatkan ke Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah dalam bidang hukum Islam. Ada sebuah kisah ketika Derrick Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel, Haji Bhai Padia. Hal tersebut menciptakan kebimbangan teologis Esack dengan konservatisme Jamaah Tabligh. Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar Maulana.

Namun, semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkannya betapa buruknya menjadi minoritas; sering dilecehkan dan ditindas. Ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindu dan Kristen minoritas di Pakistan yang sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, perang batin antara teologi eksklusiv konservatif yang masih melekat dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin memuncak. Esack lantas menetapkan pilihan meninggalkan Jamaah Tabligh, dan kemudian kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang menjadi mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kristen. Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi dalam bidang Ulum al-Quran. Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar Teologi dan Ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada United Democratic Front (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.

Sebab afiliasi tersebut, gerakan The Call of Islam ditentang oleh kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, dan MSA. Dengan penafsiran literal yang letter lijk terhadap al-Quran, mereka tak henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a search for an outside model of Islam.”

Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Hal inilah yang mendorong Esack untuk lebih dalam mempelajari al-Quran. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Adapun di Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun.

Manifesto Esack

Sebagai Doktor dalam bidang Ulum al-Qur’an, Esack memiliki konsep tentang pewahyuan yang progresif, di mana Tuhan turut aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Hal yang menunjukkan progresifitas tersebut adalah sistem prophethood (kenabian) dan tadrij (berangsur-angsur), serta asbab al-nuzul dan naskh. Menurutnya, sebagaimana digagas oleh Syah Wali Allah Dehlawi (w. 1762), ia menekankan kesalingterkaitan antara kosmos, keilahian, bumi, serta peran dan kekuasaan manusia dan semesta. Jadi, nyaris serupa dengan konsep Nasr Abu Zaid bahwa al-Quran merupakan muntaj al-tsaqafy (produk budaya), maka Esack memandang bahwa umat manusia pada masa itu ikut berperan serta dalam pewahyuan.

Selain itu, Esack juga mengkonsep hermeneutika dipandang dengan dua pendekatan. Arus pertama memandang hermeneutika sebagai prinsip-prinsip metodologis utama yang mendasari usaha interpretasi, sedangkan arus kedua melihatnya sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman. Esack berupaya mengaplikasikan hermenutika yang tepat sebagaimana ditemukan kaum Islam progresif Afsel pada 1980, usaha mengaitkan teks dengan konteks masa kini selalu menuntut penerapan hermenutika. Untuk menuju ke sana, ia juga merumuskan kunci-kunci dalam memahami hermenutika al-Qur’an sebagai perangkat untuk memahami al-Quran, terutama bagi masyarakat yang diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan, khususnya masyarakat Afsel.

Dua kunci pertama, takwa dan tauhid sebagai “penguji” moral dan doktrinal bagi kunci-kunci selanjutnya, khususnya ditinjau dari pembacaan penafsir. Keduanya juga menjadi lensa teologis bagi pembacaan al-Quran. Namun, meski kedua kunci ini bersifat teologis, keduanya selalu diterapkan pada konteks historis-politik tertentu, sebagaimana konteks Esack di Afsel. Dua kunci selanjutnya, al-nas (manusia) dan al-mustadh’afuna fi al-ardl (kaum tertindas) sebagai wilayah interpretatif sang penafsir. Kunci terakhir adalah ‘adl wa qisth (keadilan) dan jihad (perjuangan) sebagai tuntutan reflektif terhadap metode dan etika yang menghasilkan paradigma kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat tertindas.

Ebrahim Rosool pernah mengungkapkan bahwa takwa adalah prasyarat dasar untuk memahami dan mempelajari al-Quran, sebagai tindakan pelindung agar tidak mempergunakan al-Quran semena-mena dan pencomotan teks seenaknya untuk menegesahkan ideologi yang asing bagi pandangan dunia Islam. Selain itu, takwa juga memberikan pengaruh pada keseimbangan estetik dan spiritual penafsir dalam proses hermeneutika al-Quran. Tauhid juga merupakan kunci dasar hermeneutika, karena pembacaan al-Quran tanpa dilandasi tauhid bukanlah pembacaan ideal dalam Islam.

Konsep hermeneutika yang menuntut hadirnya manusia sangat signifikan, mengingat kepentingan dan pengalaman merekalah yang pada akhirnya membentuk hermeneutika al-Quran. Begitu juga dengan obyektifitas ataupun subyektifitas kaum tertindas, di mana penafsir dituntut untuk memposisikan diri di antara al-mustadh’afuna fi al-ardl sebagai saksi Tuhan. Tujuan usaha ini adalah suatu perjuangan yang sebagian besar partisipannya adalah kaum tertindas.

Terkait dengan perjuangan anti-apartheidnya yang bersentuhan dengan banyak orang beragama di luar Islam, Esack juga merekonstruksi definisi kafir sebagaimana diyakini kaum fundamentalis bahwa kafir adalah semua orang di luar agama Islam. Sedangkan, Esack memberikan konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi keadilan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak ayat al-Qur’an yang berisi:

a. Kafir, dalam arti menghalangi orang dari jalan Allah; adalah upaya untuk memusuhi para nabi dalam menegakkan keadilan. Kafir merupakan lawan dari sebuah karakter dari para nabi; menegakkan keadilan. Dengan kata lain Kafir berarti sebagai sebuah sistem yang menghalangi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan sebagainya (QS. Ali Imran 21-22; Al-Nisa’/4: 167; Muhammad/47: 32; al-A`raf/7: 45).

b. Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan). Seperti Fir’aun, menindas orang Islam bahkan dirinya mengaku sebagai Tuhan. Dalam konteks kekinian - sebagaimana konsep Ali Syari’ati, yang perlu diwaspadai adalah thaghutisme atau Fir’aunian. Suatu sistem tirani yang akut adalah kekafiran yang sesungguhnya. Sebab orang yang beriman (mu`min) adalah orang yang mengkafirkan thaghut (QS. al-Baqarah/2:256)

c. Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim dan orang miskin (QS. Al-Ma`un/107:1-3; al-Humazah/104: 1-4).

d. Sikap diam (apatis), tidak bertindak apa-apa terhadap segala bentuk penindasan dan eksploitasi juga dapat digolongkan dalam makna kafir.

Menurut Esack, ide awal tentang kekafiran seolah-olah dicampuradukkan dengan ketuhanan. Padahal pada hakikatnya orang kafir juga mengakui adanya Tuhan. Jadi sebenarnya, kafir adalah penindasan sebagai lawan atau kontradiksi dari keimanan yang diejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian, kebersamaan, dan kesejahteraan.

Bila dibaca dalam al-Qur’an, makna Islam sangat luas, bukan sekedar makna agama (al-din). Islam adalah penyerahan diri manusia pada Tuhan secara total, dan ini merupakan tradisi pada Nabi. Sebagaimana sering dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Ibn Taimiyyah, bahwa Islam yang demikian adalah Islam yang bermakna universal. Menurut Taimiyyah, bahwa Islam mempunyai dua makna; Islam dalam makna umum, berarti segala bentuk ketundukan kepada Tuhan, dalam semua agama. Sedangkan Islam dalam makna khusus/terbatas, adalah Islam sebagai agama, berisi ajaran-ajaran syari’at yang disampaikan Nabi Muhammad pada umat manusia.

Esack; Pembebas Itu….

Farid Esack telah mencetak gebrakan besar dalam pertarungan wacana antara liberal dan literal-akomodasionis. Hingga akhirnya, praksis perjuangan frontal yang terkonsep dalam kesetaraan dan keragaman menjadi solusi tepat menuju pembebasan masyarakat tertindas. | Dawam MR – 210407007 |

dimuat di majalah al-millah edisi 20 th. 2008. download selengkapnya DI SINI

Read More......

Islam Tidak Perlu Dibela

Menyadur adagium K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Peringatan 1 Tahun The Wahid Institute 3 tahun lalu, bahwa Tuhan Tidak Perlu Dibela. Wacana yang sangat kontroversial dan menantang di tengah maraknya pembelaan (baca : kekerasan) atas nama Tuhan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ultrapuritan dalam Islam. Adagium Gus Dur tersebut bertujuan untuk merekonstruksi paradigma umat Islam khususnya dan seluruh manusia umumnya, bahwa yang sebenarnya harus dibela dan diperjuangkan adalah kemanusiaan, bukan Tuhan.

Yenny Wahid mengatakan, adagium "Tuhan tidak perlu dibela" mereflesikan semangat The Wahid Institute membangun ruh keberagamaan yang memanusiakan manusia. Agama adalah inspirasi untuk membangunan tatanan masyarakat yang beradab. Agama yang meminggirkan manusia adalah agama yang mengingkari dirinya sendiri.

Seide dengan Gus Dur, penulis berpendapat bahwa Islam juga tidak perlu dibela. Sementara saat ini, yang sedang terjadi adalah “perang” antara ormas yang secara vulgar mengaku membela Islam dan kelompok-kelompok lain, baik ormas keagamaan maupun kemanusiaan. Sebagian membawa panji Islam, sebagian lagi membawa kepentingan tokoh panutan kelompoknya, dan sebagian kecil membawa nama kemanusiaan/HAM. Sebuah peperangan yang mubadzir, jika sama-sama dilandasi pembelaan atas Islam. Karena esensi Islam adalah sebuah identitas dan ideologi yang abstrak, maka Islam bukanlah semacam senyawa organik-anorganik yang konkret. Apalagi secara ideologis, Islam sama sekali jauh dari konkret. Tidak adanya weltanschauung yang seragam tentang konsepsi Islam semakin menjauhkan Islam ke dalam keabstrakan.

Sebagai sesuatu yang abstrak, tentu tidak mudah melakukan pembelaan yang benar-benar membela. Yang ada dalam “pembelaan Islam” saat ini hanya pembelaan perspektif dari masing-masing individu atau kelompok. Pada dasarnya, pembelaan perspektif termasuk dalam kebebasan hak masing-masing individu untuk berijtihad, berpendapat, dan berbuat. Dan sebagaimana telah disepakati peradaban, kebebasan personal dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsepsi kebebasan personal tersebut bisa diterima oleh seluruh manusia yang beradab. Jadi, jika ada “pembelaan Islam” yang menyentuh bahkan menyinggung paradigma ideologis orang lain, maka hal tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Terlebih jika persentuhan atau persinggungan tersebut terhadap wilayah kemanusiaan/HAM.

Berbeda dengan Islam maupun identitas-ideologi (baca : agama) lain, kemanusiaan/HAM adalah potensi natural seluruh manusia. Konsepsi tentang HAM juga setidaknya telah disepakati oleh semua elemen manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsepsi bersama tersebut menunjukkan bahwa HAM adalah sesuatu yang konkret, berbeda dengan Islam. Jadi, posisi pembelaan HAM seharusnya lebih diutamakan daripada pembelaan Islam – dan identitas-ideologi lain tentunya. Sementara itu, yang banyak terjadi di masyarakat justru penggagahan HAM atas nama Islam.

Sebenarnya terlambat jika penulis mengajak untuk merekonstruksi paradigma pembelaan tersebut, karena sudah banyak tokoh-tokoh yang melakukannya. Sebut saja di antaranya Mohammed Arkoun dan Hassan Hanafi. Menurut Arkoun dalam bukunya al-Fikrul Islami; Naqdun wa Ijtihadun, dalam konteks beragama terdapat sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-aqlu al-aqa'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.

Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan berbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia - tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar - mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar identitas-ideologinya (entah secara perspektif atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.

Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).

Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir yang populer dengan al-yasar al-Islamnya, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan pembelaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.

Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar manusia lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertoleransi dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.

Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.

Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah mudah dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, dibutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlarah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma manusia dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini menjadi mainstream, menuju berbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.

Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang menggejolak akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agama yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri.

Sebagaimana digagas oleh kedua tokoh pemikir Islam kontemporer tersebut, penulis mencatat bahwasanya Islam tidak perlu dibela, bahkan tidak bisa dibela. Abstraksi Islamlah yang menyebabkan absurditas pembelaan Islam. Namun, hal tersebut tidak berarti membunuh Islam dan identitas-ideologi lain dengan nama kemanusiaan/HAM, abstraksi tersebut justru membawa Islam sebagai sesuatu yang akan membela kemanusiaan/HAM. Pada akhirnya, perpaduan antara identitas-ideologi dan kemanusiaan akan bisa berjalan bersama. God Knows.

Sumber Pustaka : Kompas Cyber Media (KCM), Ahmed Deedat dalam artikel refleksi Tuhan Tidak Perlu Dibela.

Read More......

No Bra In


d4mN with reallY nO Bra In

Entah mengapa aku kok ya bisa-bisanya to, sholat cuma pake celana pendek ama singlet doank. Yah, setidaknya aku tidak benar-benar hanya pake Bra.

Kapan-kapan gitu ku kok ya pengen nemuin Presiden kayak gini juga sih....

Ahhhh....Memang hidup dibikin mudah pasti lebih indah....

Allahummahdina....

Read More......