Idealisme Entitas yang Berseteru dan Terbelenggu



Berkaitan dengan kenyamanan, yang selama ini kerap aku dendangkan baik pribadi maupun dalam sapulidi. Kenyamanan dengan nikmatnya sami’na wa atho’na terbelenggu dalam status quo yang individualistis. Kenyamanan dengan tegas menolak status quo yang memang salah (pantas disalahkan), saking tegasnya sampai-sampai menolak bergabung dengan sang status quo. Kenyamanan dengan “sok idealis”, mengikuti saja arah air mengalir, tetap mengikuti permainan dengan sang berkuasa (bukan sang penguasa), namun berhasrat kembali menggoyang kekuasaannya. Kenyamanan yang entah apalagi namanya.

Untuk saudara-saudaraku, embrio-embrio yang sedang diseleksi oleh alam. Jangan lupakan kita pernah punya niat bersama (yang sama). Ketika kita pernah sangat marah jika ada yang bilang kita menjual ayat-ayatNya. Ketika kita mulai beradu mata dan kepala. Ketika kita sama-sama bangga dengan titel peserta program unggulan. Ketika kita sama-sama ceria dengan angka-angka imajiner. Ketika kita sama-sama nelangsa dengan kenyataan ditelantarkan. Ketika kita kemudian sama-sama gila bersms ria hanya untuk mengabarkan “DIJUAL 5000 RUPIAH”. Ketika kita sama-sama. Yah, memang seharusnya kita adalah sama, sama-sama, dan selalu bersama.


Ingat. Kita bukan sekedar sperma yang berebut ovum untuk menjadi makhluk sempurna. Yang dari jutaan sperma atau dari 27 kita, hanya ada 1 yang berhasil. Seleksi ini terjadi di saat kita sudah terbaptis dalam tujuan kita, bukanlah program yang membungkus. Masa bodoh dengan program itu.

Terima kasih untuk saudara-saudaraku yang masih merasa memiliki libido tinggi untuk benar-benar bermain.

Read More......

Antara Khauf dan Raja'



Sebuah analogi tentang semangat hidup dan kesadaran pada Yang Maha Pemberi Hidup.

Kowe kudu wedi karo Alloh. Jajal lek kowe gak diwehi moto, lekmu ndelok piye?, kata Fikri (6), pada Faiq (5) suatu hari. Mendengar itu, saya hanya trenyuh, karena keadaan Fikri yang notabene (maaf) cacat; kaki kirinya bengkok dan masing-masing dari kedua telapak kakinya menghadap ke luar. Subhanallah. Anak sekecil itu dan dalam keadaan seperti itu bisa mengambil hikmah yang luar biasa. Mata, lengkapnya Sepasang Mata, benar-benar merupakan anugerah yang sempurna dari Tuhan. Karena dengan sepasang mata, kita bisa menjalani kehidupan di dunia yang indah ini. Bayangkan jika kita tidak memiliki mata, atau paling tidak hanya memiliki sebelah mata. Akankah kita bisa menikmati dunia ini. Dan akankah kita tetap semangat menjalani hidup. Subhanallah.


Setelah itu, saya memutuskan untuk menulis tentang Fikri. Di kamar yang penuh spanduk bekas kegiatan, iklan, dan kampanye saya menata hati menulis ide tersebut. Ketika menyalakan player, terdengar lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Sebelah Mata :

Sebelah mataku yang mampu melihat
Bercak adalah sebuah warna warna mempesona
Membaur dengan suara dibawanya kegetiran
Begitu asing terdengar

Sebelah mataku yang mempelajari
Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku
Terbentuk dari sel akut
Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami


Tapi sebelah mataku yang lain menyadari
Gelap adalah teman setia
Dari waktu waktu yang hilang


Lagu ini juga tak jauh beda dengan cerita (nyata) tentang Fikri. Lirik lagu ini dibuat oleh Adrian, sang bassis, yang dikaruniai Tuhan dengan sebelah mata saja. Awalnya kedua matanya normal, namun disebabkan oleh diabetes secara perlahan dan bertahap sebelah matanya tidak bisa melihat lagi. Meskipun menderita diabetes akut seperti itu, Adrian tetap menjalani hidup dengan semangat. Bersama Cholil dan Akbar, mereka berkreasi dalam Efek Rumah Kaca, kelompok musik indie dari Jakarta - terkenal dengan salah satu hitsnya Di Udara yang membawa tema tentang aktivis HAM, Munir yang mati diracun di udara (di dalam pesawat terbang).

Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..


Kamu harus takut pada Tuhan. Coba kalau kamu tidak diberi mata, bagaimana kamu akan melihat?

Read More......

REVIVALISASI ISLAM LIBERAL



Adalah menarik bahkan terkesan unik, menyandingkan 2 term; Revivalisasi Islam dan Islam Liberal. Term pertama sebagai istilah yang sudah ada dalam pergulatan peradaban Islam menggambarkan sebuah upaya menjadikan Islam sebagai pemilik tunggal hak claim of truth and salvation, sedangkan term kedua lebih mengarah pada demokratisasi Islam dan humanisme. Islam Revivalis (trans-nasionalis, fundamentalis, konservatif dan tradisionalis) cenderung bersifat radikal dan “merasa paling benar”. Sedangkan Islam Liberal mengerucut pada kebebasan yang (sebenarnya masih) terbatas pada koridor-koridor interpretasi kemanusiaan. Pada akhirnya, Revivalisasi Islam Liberal dapat diartikan sebagai puncak capaian usaha pemikiran dan ideologi liberalisme Islam terhadap ranah peradaban manusia. Sebuah prestise kemenangan bagi peradaban Islam, Islam yang menjunjung tinggi kontekstualitas manusiawi dalam kerangka liberalisme.
Islam Liberal, meskipun dipandang sebagai produk budaya barat yang justru melecehkan Islam (K.H. Luthfi Bashori, Pimpinan PP. Al-Murtadlo Malang) dan apa yang ditawarkan hanyalah sebongkah kesesatan (K.H. A. Khalil Ridwan), namun paradigma murni yang diangkat dalam liberalisme adalah proses pembebasan dari keterkungkungan dalam dogma dengan tidak meninggalkan kesakralan dan kesucian aqidah dan tauhid kepada Yang Maha Mutlak. Kerap disalah-artikan, sebagai kebebasan interpretatif dan keberanian yang mengarah pada kelancangan. Islam Liberal, sebenarnya justru berupaya “memanusiakan” dan “menghidupkan” Islam sesuai dengan konteks dan komunitas yang lebih luas.
Sebenarnya, liberalismepun bukanlah hal baru dalam Islam. Jadi, Salah Besar (dengan S dan B kapital) jika ada yang mengatakan Islam Liberal adalah produk barat. Liberalisme Islam (dalam hal ini dinyatakan dalam kebebasan penafsiran terhadap dasar hukum syari’at) bermula pada saat pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab. Saat itu, setelah menaklukkan sebuah wilayah dar al-kuffar dalam invasi perluasan wilayah dan penyebaran Islam, pasukan Muslim mendapatkan tanah sitaan (daerah persawahan) di Irak, Persia, dan Mesir cukup banyak. Jika mengikuti ketentuan al-Qur’an surah al-Anfal ayat 41 sebagai adillatu al-syar’i (dasar hukum), seharusnya Umar membagi daerah tersebut 1/5 untuk kemaslahatan umat dan 4/5 untuk pasukan yang ikut dalam peperangan tersebut. Namun, berdasar asumsi bahwa pembagian tersebut justru akan mendatangkan fitnah dan khilaf di kalangan sahabat, maka Umar tidak membagikan ghanimah tersebut. Tanah sitaan tersebut tetap digarap oleh pemilik aslinya (kaum kafir) dengan syarat mereka membayar kharaj (pajak) kepada pemerintahan Islam. Sedangkan status tanah tersebut menjadi milik negara (Islam).
Waktu itu Umar ditentang keras oleh beberapa sahabat lain, di antaranya Bilal ibn Rabah, Zubair ibn Awwam, dan Abdurrahman ibn Auf. Mereka sebagai representasi sahabat yang literalis menganggap Umar terlalu berani menafikan nash al-Qur’an dan juga sunnah Nabi yang membagi ghanimah sesuai rumusan al-Qur’an tersebut pada peperangan di Khaibar. Karena kerasnya tekanan dari Bilal, Umar bahkan berdo’a, “Ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”. Meskipun ditekan sedemikian hebatnya, Umar tetap bertahan sampai akhirnya pendapatnyalah yang diterima masyarakat umum.
Berangkat dari kasus Umar dan Bilal, dapat ditarik dua versi pemahaman Islam; liberal dan literal. Yang menurut Ahmad Sahal, berarti yang literal maupun yang literal sama-sama anak kandung Islam yang sah. Islam literal memandang nash al-Qur’an adalah sebagai dasar hukum yang sah, dan hanya bisa didukung atau dilemahkan dengan nash lain (sunnah Nabi), juga dengan ijtihad ulama’. Namun, pendapat seperti itu justru berujung pada tekstualitas penafsiran beragama. Penafsiran rasional-liberal-sosial-kontekstual tentu tidak searah dengan pemikiran literal.
Implikasi dari pandangan literal mengakibatkan totalitas nash dalam mengatur seluruh wilayah kehidupan; privat dan publik. Nash juga memiliki akses yang tak terhingga dalam segala aspek kemanusiaan, menembus batas ruang-waktu, dan mengatasi berbagai karakter historis. Lebih jauh, latar belakang Arab sebagai konteks di mana Nabi tinggal menjadi latar belakang yang “resmi” dalam dunia Islam. Segala hal di luar Arab dianggap sebagai bukan Islam.
Sedangkan Islam dalam perspektif liberalis lebih luas dalam interpretasi nash sebagai adillah al-syari’ah. Liberalis menggunakan nash dengan mencari maqashid al-syari’ahnya, jadi mereka tidak serta-merta beramal sesuai dengan nash tersebut (letterlijk). Mereka memposisikan wahyu sebagai hal yang progresif dan harus disesuaikan dengan konteks komunitas masyarakat setempat, bahkan menolak tekstualitas al-Qur’an. Namun, paradigma sedemikian bukan ingin menyempitkan penggunaan syari’at hanya di era dan daerah tertentu saja. Penerapan syari’at di Indonesia tentu berbeda dengan Arab Saudi. Aplikasi kontemporer juga tentu berbeda dengan masa-masa terdahulu. Lebih jauh, paradigma demikian justru akan lebih mendekatkan nash dengan masyarakat penggunanya.
Berkaitan dengan maqashid al-syari’ah dan kontekstualitas al-Qur’an, sahabat Umar ibn Khattab sebagai founding father Islam Liberal juga tidak hanya sekali (dalam kasus pembagian ghanimah) meninggalkan makna harfiah nash. Contoh lain terdapat pada saat beliau menghakimi seorang pencuri unta miskin. Jika berdasarkan pada al-Qur’an surah al-Ma’idah 38, pencuri tersebut harus dipotong tangannya. Namun Umar tidak memotong tangannya karena konteks masyarakat pada saat itu sedang dalam masa paceklik yang sangat berat.
Terlepas dari pandangan literalis-liberalis yang secara signifikan berbeda, keduanya adalah sama-sama produk kebudayaan Islam. Memposisikan keduanya harus dalam posisi yang sejajar, karena sejauh ini tidak ada yang tahu siapa benar-siapa salah. Keduanya sama-sama dalam proses road to the peace, truth, and salvation. Jadi, sama sekali tidak bisa dibenarkan jika ada justifikasi bahwa kelompok lain adalah salah, bahkan dipandang sesat dan kafir. Karena barangsiapa mengkafirkan saudaranya sesama muslim, maka dia sendirilah yang sebenarnya kafir (al-hadits). Ghafarallah anhum. God Knows.

Read More......