Maulana Farid Esack; sang pembebas, yang tertindas


Ia adalah salah satu tokoh Islam Kontemporer yang tidak bosan-bosan menyerukan renaissance dalam paradigma pemikiran Islam. Dengan titik pemikiran terfokus pada Hermeneutika Qur’an, Esack menawarkan Teologi Pembebasan bagi ketidakadilan. Dengan keberanian yang dimilikinya, ia sangat meyakini bahwa Kitab Suci Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang memberikan pemihakan kepada kelompok lemah atau mustadh’afin. Maka segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an harus berpihak kepada kaum mustadh’afin, setidaknya menolak ketidakadilan. Komitmen membangun sebuah masyarakat egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, dan tanpa rasialisme primordial harus menjadi barometer baku dalam setiap penafsiran teks-teks suci.

Esack adalah model intelektual organik —untuk memakai kategori Antonio Gramsci— yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya. Ia termasuk dalam avant garde pemberangusan rezim apartheid di Afrika Selatan. Bersama kawan-kawan se-perjuangannya, mereka melawan otoritarianisme pemerintah kolonial dalam mengatur negara. Namun bersama kawan-kawan muslim se-idenya, ia tak hanya melawan rezim penguasa, namun juga terpaksa melawan umat Muslim lain yang berideologi literal dan konservatif. Gagasannya tentang Teologi Pembebasan yang sama sekali baru dalam dunia Islam, khususnya di Afrika Selatan, ditentang oleh ulama-ulama sepuh di negara tersebut. Menurut mereka, ide tersebut sama saja dengan menafikan Islam sebagai Dien al-Haqq, pemegang kebenaran eksklusif.

Status Quo yang Kompleks

Farid Esack lahir pada tahun 1959 dalam asuhan seorang ibu yang menjalani hidup sebagai single parent. Ayahnya hilang ketika ia masih berumur dua minggu. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang berjumlah enam orang.

Adalah Apartheid, sebuah sistem dikotomi dan klasifikasi berdasarkan etnis yang kemudian mengantarkan Afrika Selatan menuju peradaban yang sangat tidak manusiawi. Pemerintah kolonial menetapkan berbagai peraturan yang menyengsarakan pribumi. Penerapan Group Areas Act (Akta Wilayah Kelompok) pada 1952 yang tidak adil menempatkan warga kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna di daerah-daerah paling tandus di negeri itu. Sebagaimana keluarga Esack yang harus pindah dari Wynberg, Western Cape, ke Bonteheuwal, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats. Baik di Wynberg maupun di Bonteheuwal, mereka tinggal bertetangga dengan umat Kristen sebagai mayoritas di Afsel. Selain orang Islam sebagai minoritas, di daerah mereka juga tinggal beberapa orang Yahudi dan Baha’i. Namun, perbedaan ideologis itu tidaklah mendasar dan menyebabkan kebedaan antara mereka. Merasa senasib dengan penindasan kolonial, mereka hidup bersama dalam pergumulan sosial yang baik dan akrab.

Mengenang solidaritas tetangga-tetangganya yang beragama lain, Farid mengatakan, “kepada tetangga Kristen itulah kami bergantung demi semangkuk gula untuk menyambung nafas untuk hari-hari berikutnya. Dan mereka tempat berbagi derita. Kepada tuan Frank kami memohon perpanjangan waktu kredit yang seolah-oleh tiada akhirnya. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkan berkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristen membuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaim keselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhami saya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik dari agama lain. Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dari Bu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa mereka ditakdirkan masuk neraka?.” Dari kenangan tersebut terpantul benih-benih pluralisme dalam diri Esack sejak dini. Solidaritas dan penerimaan terhadap orang lain tanpa dihantui oleh perbedaan agama, ras dan kelamin merupakan inti dari pluralisme yang tertanam kuat pada diri Esack sampai saat ini.

Kebijakan lain adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi buatan Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.

Parahnya, gambaran kehidupan menyedihkan seperti itu justru berjalan lancar dengan peran serta kaum akomodasionis – sebagaimana Esack menyebut Muslim ataupun Kristiani fundamental. Meskipun pada dasarnya mereka menolak penindasan kolonial, namun mereka tidak lantas melakukan aksi frontal melawan rezim penjajah. Justru semakin melanggengkan sistem apartheid dengan menikmati status quo; dikotomi kesukuan dan keagamaan yang sayangnya mereka sadari sebagai eksklusivisme.

Karena dukungan secara tidak langsung mereka pada kolonial, kaum akomodasionis banyak yang kemudian mendapat posisi di birokrasi, terutama dalam hal pendidikan. Akibatnya sangat fatal, pelajar-pelajar dari berbagai etnis dicekoki doktrin kewajiban untuk patuh pada pemerintah sebagai representasi Tuhan. Sistem pendidikan yang bertujuan membungkam rakyat untuk tidak melawan pemerintah. Saat itu, lembaga-lembaga pendidikan sangat terbatas, karena izin pendirian lembaga diberikan hanya untuk lembaga pendidikan Kristen. Jadi, semasa kecilnya Esack bersekolah di sekolah Kristen dan diberikan pengetahuan dogmatik untuk membenarkan (memberikan pembenaran atas) status quo yang kompleks tersebut.

Pertarungan yang Sebenarnya

Sejak kecil, Esack sudah menjadi anggota Jama’ah Tabligh, hingga akhirnya ia diberangkatkan ke Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah dalam bidang hukum Islam. Ada sebuah kisah ketika Derrick Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel, Haji Bhai Padia. Hal tersebut menciptakan kebimbangan teologis Esack dengan konservatisme Jamaah Tabligh. Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar Maulana.

Namun, semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkannya betapa buruknya menjadi minoritas; sering dilecehkan dan ditindas. Ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindu dan Kristen minoritas di Pakistan yang sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, perang batin antara teologi eksklusiv konservatif yang masih melekat dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin memuncak. Esack lantas menetapkan pilihan meninggalkan Jamaah Tabligh, dan kemudian kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang menjadi mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kristen. Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi dalam bidang Ulum al-Quran. Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar Teologi dan Ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada United Democratic Front (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.

Sebab afiliasi tersebut, gerakan The Call of Islam ditentang oleh kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, dan MSA. Dengan penafsiran literal yang letter lijk terhadap al-Quran, mereka tak henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a search for an outside model of Islam.”

Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Hal inilah yang mendorong Esack untuk lebih dalam mempelajari al-Quran. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Adapun di Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun.

Manifesto Esack

Sebagai Doktor dalam bidang Ulum al-Qur’an, Esack memiliki konsep tentang pewahyuan yang progresif, di mana Tuhan turut aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Hal yang menunjukkan progresifitas tersebut adalah sistem prophethood (kenabian) dan tadrij (berangsur-angsur), serta asbab al-nuzul dan naskh. Menurutnya, sebagaimana digagas oleh Syah Wali Allah Dehlawi (w. 1762), ia menekankan kesalingterkaitan antara kosmos, keilahian, bumi, serta peran dan kekuasaan manusia dan semesta. Jadi, nyaris serupa dengan konsep Nasr Abu Zaid bahwa al-Quran merupakan muntaj al-tsaqafy (produk budaya), maka Esack memandang bahwa umat manusia pada masa itu ikut berperan serta dalam pewahyuan.

Selain itu, Esack juga mengkonsep hermeneutika dipandang dengan dua pendekatan. Arus pertama memandang hermeneutika sebagai prinsip-prinsip metodologis utama yang mendasari usaha interpretasi, sedangkan arus kedua melihatnya sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman. Esack berupaya mengaplikasikan hermenutika yang tepat sebagaimana ditemukan kaum Islam progresif Afsel pada 1980, usaha mengaitkan teks dengan konteks masa kini selalu menuntut penerapan hermenutika. Untuk menuju ke sana, ia juga merumuskan kunci-kunci dalam memahami hermenutika al-Qur’an sebagai perangkat untuk memahami al-Quran, terutama bagi masyarakat yang diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan, khususnya masyarakat Afsel.

Dua kunci pertama, takwa dan tauhid sebagai “penguji” moral dan doktrinal bagi kunci-kunci selanjutnya, khususnya ditinjau dari pembacaan penafsir. Keduanya juga menjadi lensa teologis bagi pembacaan al-Quran. Namun, meski kedua kunci ini bersifat teologis, keduanya selalu diterapkan pada konteks historis-politik tertentu, sebagaimana konteks Esack di Afsel. Dua kunci selanjutnya, al-nas (manusia) dan al-mustadh’afuna fi al-ardl (kaum tertindas) sebagai wilayah interpretatif sang penafsir. Kunci terakhir adalah ‘adl wa qisth (keadilan) dan jihad (perjuangan) sebagai tuntutan reflektif terhadap metode dan etika yang menghasilkan paradigma kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat tertindas.

Ebrahim Rosool pernah mengungkapkan bahwa takwa adalah prasyarat dasar untuk memahami dan mempelajari al-Quran, sebagai tindakan pelindung agar tidak mempergunakan al-Quran semena-mena dan pencomotan teks seenaknya untuk menegesahkan ideologi yang asing bagi pandangan dunia Islam. Selain itu, takwa juga memberikan pengaruh pada keseimbangan estetik dan spiritual penafsir dalam proses hermeneutika al-Quran. Tauhid juga merupakan kunci dasar hermeneutika, karena pembacaan al-Quran tanpa dilandasi tauhid bukanlah pembacaan ideal dalam Islam.

Konsep hermeneutika yang menuntut hadirnya manusia sangat signifikan, mengingat kepentingan dan pengalaman merekalah yang pada akhirnya membentuk hermeneutika al-Quran. Begitu juga dengan obyektifitas ataupun subyektifitas kaum tertindas, di mana penafsir dituntut untuk memposisikan diri di antara al-mustadh’afuna fi al-ardl sebagai saksi Tuhan. Tujuan usaha ini adalah suatu perjuangan yang sebagian besar partisipannya adalah kaum tertindas.

Terkait dengan perjuangan anti-apartheidnya yang bersentuhan dengan banyak orang beragama di luar Islam, Esack juga merekonstruksi definisi kafir sebagaimana diyakini kaum fundamentalis bahwa kafir adalah semua orang di luar agama Islam. Sedangkan, Esack memberikan konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi keadilan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak ayat al-Qur’an yang berisi:

a. Kafir, dalam arti menghalangi orang dari jalan Allah; adalah upaya untuk memusuhi para nabi dalam menegakkan keadilan. Kafir merupakan lawan dari sebuah karakter dari para nabi; menegakkan keadilan. Dengan kata lain Kafir berarti sebagai sebuah sistem yang menghalangi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan sebagainya (QS. Ali Imran 21-22; Al-Nisa’/4: 167; Muhammad/47: 32; al-A`raf/7: 45).

b. Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan). Seperti Fir’aun, menindas orang Islam bahkan dirinya mengaku sebagai Tuhan. Dalam konteks kekinian - sebagaimana konsep Ali Syari’ati, yang perlu diwaspadai adalah thaghutisme atau Fir’aunian. Suatu sistem tirani yang akut adalah kekafiran yang sesungguhnya. Sebab orang yang beriman (mu`min) adalah orang yang mengkafirkan thaghut (QS. al-Baqarah/2:256)

c. Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim dan orang miskin (QS. Al-Ma`un/107:1-3; al-Humazah/104: 1-4).

d. Sikap diam (apatis), tidak bertindak apa-apa terhadap segala bentuk penindasan dan eksploitasi juga dapat digolongkan dalam makna kafir.

Menurut Esack, ide awal tentang kekafiran seolah-olah dicampuradukkan dengan ketuhanan. Padahal pada hakikatnya orang kafir juga mengakui adanya Tuhan. Jadi sebenarnya, kafir adalah penindasan sebagai lawan atau kontradiksi dari keimanan yang diejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian, kebersamaan, dan kesejahteraan.

Bila dibaca dalam al-Qur’an, makna Islam sangat luas, bukan sekedar makna agama (al-din). Islam adalah penyerahan diri manusia pada Tuhan secara total, dan ini merupakan tradisi pada Nabi. Sebagaimana sering dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Ibn Taimiyyah, bahwa Islam yang demikian adalah Islam yang bermakna universal. Menurut Taimiyyah, bahwa Islam mempunyai dua makna; Islam dalam makna umum, berarti segala bentuk ketundukan kepada Tuhan, dalam semua agama. Sedangkan Islam dalam makna khusus/terbatas, adalah Islam sebagai agama, berisi ajaran-ajaran syari’at yang disampaikan Nabi Muhammad pada umat manusia.

Esack; Pembebas Itu….

Farid Esack telah mencetak gebrakan besar dalam pertarungan wacana antara liberal dan literal-akomodasionis. Hingga akhirnya, praksis perjuangan frontal yang terkonsep dalam kesetaraan dan keragaman menjadi solusi tepat menuju pembebasan masyarakat tertindas. | Dawam MR – 210407007 |

dimuat di majalah al-millah edisi 20 th. 2008. download selengkapnya DI SINI

Read More......