Islam Tidak Perlu Dibela

Menyadur adagium K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Peringatan 1 Tahun The Wahid Institute 3 tahun lalu, bahwa Tuhan Tidak Perlu Dibela. Wacana yang sangat kontroversial dan menantang di tengah maraknya pembelaan (baca : kekerasan) atas nama Tuhan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ultrapuritan dalam Islam. Adagium Gus Dur tersebut bertujuan untuk merekonstruksi paradigma umat Islam khususnya dan seluruh manusia umumnya, bahwa yang sebenarnya harus dibela dan diperjuangkan adalah kemanusiaan, bukan Tuhan.

Yenny Wahid mengatakan, adagium "Tuhan tidak perlu dibela" mereflesikan semangat The Wahid Institute membangun ruh keberagamaan yang memanusiakan manusia. Agama adalah inspirasi untuk membangunan tatanan masyarakat yang beradab. Agama yang meminggirkan manusia adalah agama yang mengingkari dirinya sendiri.

Seide dengan Gus Dur, penulis berpendapat bahwa Islam juga tidak perlu dibela. Sementara saat ini, yang sedang terjadi adalah “perang” antara ormas yang secara vulgar mengaku membela Islam dan kelompok-kelompok lain, baik ormas keagamaan maupun kemanusiaan. Sebagian membawa panji Islam, sebagian lagi membawa kepentingan tokoh panutan kelompoknya, dan sebagian kecil membawa nama kemanusiaan/HAM. Sebuah peperangan yang mubadzir, jika sama-sama dilandasi pembelaan atas Islam. Karena esensi Islam adalah sebuah identitas dan ideologi yang abstrak, maka Islam bukanlah semacam senyawa organik-anorganik yang konkret. Apalagi secara ideologis, Islam sama sekali jauh dari konkret. Tidak adanya weltanschauung yang seragam tentang konsepsi Islam semakin menjauhkan Islam ke dalam keabstrakan.

Sebagai sesuatu yang abstrak, tentu tidak mudah melakukan pembelaan yang benar-benar membela. Yang ada dalam “pembelaan Islam” saat ini hanya pembelaan perspektif dari masing-masing individu atau kelompok. Pada dasarnya, pembelaan perspektif termasuk dalam kebebasan hak masing-masing individu untuk berijtihad, berpendapat, dan berbuat. Dan sebagaimana telah disepakati peradaban, kebebasan personal dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsepsi kebebasan personal tersebut bisa diterima oleh seluruh manusia yang beradab. Jadi, jika ada “pembelaan Islam” yang menyentuh bahkan menyinggung paradigma ideologis orang lain, maka hal tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan. Terlebih jika persentuhan atau persinggungan tersebut terhadap wilayah kemanusiaan/HAM.

Berbeda dengan Islam maupun identitas-ideologi (baca : agama) lain, kemanusiaan/HAM adalah potensi natural seluruh manusia. Konsepsi tentang HAM juga setidaknya telah disepakati oleh semua elemen manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsepsi bersama tersebut menunjukkan bahwa HAM adalah sesuatu yang konkret, berbeda dengan Islam. Jadi, posisi pembelaan HAM seharusnya lebih diutamakan daripada pembelaan Islam – dan identitas-ideologi lain tentunya. Sementara itu, yang banyak terjadi di masyarakat justru penggagahan HAM atas nama Islam.

Sebenarnya terlambat jika penulis mengajak untuk merekonstruksi paradigma pembelaan tersebut, karena sudah banyak tokoh-tokoh yang melakukannya. Sebut saja di antaranya Mohammed Arkoun dan Hassan Hanafi. Menurut Arkoun dalam bukunya al-Fikrul Islami; Naqdun wa Ijtihadun, dalam konteks beragama terdapat sebentuk nalar yang disebut dengan istilah nalar teologis (al-aqlu al-aqa'idy). Ciri terpenting nalar ini adalah kecenderungan yang amat memusatkan persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.

Sebuah contoh agak nyata dikemukakan Arkoun. Bagi seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan berbagai kajian humaniora (dengan begitu dia diharapkan bernalar humanis), kematian umat manusia - tak peduli yang durhaka sekalipun, apalagi dalam jumlah besar - mengandung makna sosial yang amat penting. Sementara seorang teolog melihatnya tak lebih sekadar peristiwa biasa. Bila yang tertimpa kematian tak wajar adalah umat di luar identitas-ideologinya (entah secara perspektif atau berbeda dalam aspirasi sosial-politik), mereka segera saja menanggapinya secara enteng dan ringan belaka.

Maka, tak heran bila Arkoun melakukan kritik pedas terhadap kalangan yang menganut nalar teologis, mulai dari yang klasik sampai modern. Menurut Arkoun, penganut nalar teologis tak jarang merupakan orang yang tidak peduli dengan problem kemanusiaan. Mereka selalu meletakkan problem lenyapnya nyawa manusia dalam kerangka di mana Tuhan sedang berkepentingan menghukum orang yang dimurkai (dan dimurkai para penganut nalar ini, tentunya).

Agak senada dengan Arkoun, pemikir asal Mesir yang populer dengan al-yasar al-Islamnya, Hassan Hanafi, menjelaskan persoalan pembelaan ini dari sisi paradigma pemikiran keagamaan yang dianut individu ataupun komunitas tersebut. Hanafi mengkritik paradigma pemikiran dan penghayatan keagamaan yang dia sebut kelewat teosentris. Paradigma berpikir dan penghayatan keagamaan ini menganggap segala yang dikerjakan manusia adalah untuk Tuhan semata, sembari meniscayakan tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengabdi kepada Tuhan dalam bentuk ritual ibadah dipandang untuk kepentingan Tuhan itu semata. Padahal, Tuhan tidak berkepentingan atas ibadah manusia, justru manusialah yang butuh akan ibadah untuk kemaslahatan mereka sendiri.

Yang paling mengkhawatirkan dari paradigma pemikiran dan penghayatan keberagamaan yang teosentris ini adalah kenyataan bahwa penganutnya potensial untuk "dimabuk Tuhan". Dan, bila "mabuk Tuhan" sudah terjadi, tak jarang kita menyaksikan tindakan yang justru tanpa ampun melenyapkan umat manusia sendiri. Sadar akan potensi destruktif pola berpikir dan menghayati agama yang demikian, Hanafi mengusulkan agar manusia lebih kuat lagi menekankan pola keberagamaan yang bersifat antroposentris; sebuah pola keberagamaan yang bertoleransi dengan umat manusia dan problem-problem kemanusiaan universal.

Untuk merealisasikan pola keberagamaan demikian itu, Hanafi menggagas perlunya keluar dari fase teosentris ketuhanan yang lama, menuju fase kemanusiaan. Peradaban Islam perlu keluar dari wawasan keberagamaan yang teosentris menuju peradaban yang antroposentris. Dalam peradaban yang teosentris, segala sesuatu diabdikan untuk Tuhan itu sendiri, sementara dalam peradaban yang antroposentris, peradaban ditujukan untuk setinggi mungkin mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Peradaban selalu dibangun untuk kemanusiaan, bukan untuk Tuhan. Sebab, sebagaimana Gus Dur menyebut "Tuhan tidak perlu dibela", maka "Tuhan pun tidak butuh peradaban". Manusialah yang butuh memanfaatkan peradaban itu supaya bisa menangkap kebaikan Tuhan.

Hanya saja, jalan menuju peradaban kemanusiaan itu tidaklah mudah dan mendatar. Untuk menuju peradaban kemanusiaan, dibutuhkan semacam revolusi peradaban (tsauratul hadlarah) dari paradigma yang teosentris tadi menuju paradigma yang antroposentris. Tugas berat tersebut membutuhkan pemindahan kutub paradigma manusia dari ilmu tentang Tuhan yang selama ini menjadi mainstream, menuju berbagai ilmu humaniora, pengetahuan yang lebih dalam tentang umat manusia. Ilmu-ilmu ketuhanan yang dipelajari untuk Tuhan itu sendiri, di lingkungan pesantren misalnya, sudah saatnya direvisi agar lebih mempertimbangkan implikasinya bagi sisi-sisi kemanusiaan.

Perubahan orientasi mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan pergeseran penekanan paradigmanya menjadi sangat relevan, apalagi di tengah persoalan kemanusiaan yang menggejolak akhir-akhir ini. Pengajaran agama pada hakikatnya tidak pernah untuk agama itu sendiri. Agama selalu saja diperuntukkan demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama yang dilaksanakan dengan tidak menghargai harkat dan martabat manusia, agama yang ringan hati ingin melihat lenyapnya jiwa manusia, sesungguhnya sudah menjauhkan diri dari nilai-nilai luhur dan universal dari agama itu sendiri.

Sebagaimana digagas oleh kedua tokoh pemikir Islam kontemporer tersebut, penulis mencatat bahwasanya Islam tidak perlu dibela, bahkan tidak bisa dibela. Abstraksi Islamlah yang menyebabkan absurditas pembelaan Islam. Namun, hal tersebut tidak berarti membunuh Islam dan identitas-ideologi lain dengan nama kemanusiaan/HAM, abstraksi tersebut justru membawa Islam sebagai sesuatu yang akan membela kemanusiaan/HAM. Pada akhirnya, perpaduan antara identitas-ideologi dan kemanusiaan akan bisa berjalan bersama. God Knows.

Sumber Pustaka : Kompas Cyber Media (KCM), Ahmed Deedat dalam artikel refleksi Tuhan Tidak Perlu Dibela.

Read More......

No Bra In


d4mN with reallY nO Bra In

Entah mengapa aku kok ya bisa-bisanya to, sholat cuma pake celana pendek ama singlet doank. Yah, setidaknya aku tidak benar-benar hanya pake Bra.

Kapan-kapan gitu ku kok ya pengen nemuin Presiden kayak gini juga sih....

Ahhhh....Memang hidup dibikin mudah pasti lebih indah....

Allahummahdina....

Read More......